PERBEDAAN LATIHAN DI CUACA PANAS DAN DINGIN
MAKALAH
Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas individu
mata kuliah Pembelajaran Motorik
Dosen pengampu: Dr. Panggung Sutapa, M.S.
PROGRAM
STUDI ILMU KEOLAHRAGAAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
PENDAHULUAN
Stress yang menyertai latihan dan kompetisi sering
diperberat oleh dampak lingkungan. Suhu udara atau kelembaban yang tinggi,
dapat menyebabkan terjadinya rebutan darah antara kulit dan otot yang berakibat
menurunnya penampilan dan kadang menyebabkan terjadinya dehidrasi yang
progresif dan kolaps. Berdasarkan suhu tubuh, makhluk hidup tingkat tinggi
seperti hewan dan manusia dibagi menjadi dua, yaitu makhluk hidup yang memiliki
suhu tubuh yang relatif konstan (homeotherm),
dan makhluk hidup yang suhu tubuhnya beradaptasi dengan perubahan lingkungan (poikilotherm). Manusia memiliki
kemampuan untuk tidak tergantung atau tidak dipengaruhi oleh suhu lingkungannya
karena dapat memelihara suhu tubuh yang konstan, sedangkan pada makhluk hidup
yang tergolong poilikotherm ketika
suhu lingkungan dingin, suhu tubuhnya menjadi sangat rendah dan laju
metaboliknya menurun atau bahkan tidak aktif, akan tetapi pada suhu lingkungan yang
panas, mereka harus mencari tempat untuk berlindung atau bahkan dapat mengalami
kematian. Manusia sebagai makhluk hidup tingkat tinggi yang keberfungsian
aktivitas fisiologis dalam tubuhnya, seperti pengangkutan oksigen, metabolism
seluler dan kontraksi otot tidak begitu terpengaruh oleh suhu lingkungan, baik
panas ataupun dingin pada batasan normal selama suhu internal tubuh
terpelihara.
Akan tetapi yang
menjadi permasalahan adalah manusia juga merupakan makhluk sosial yang memiliki
mobilitas perpindahan sangat tinggi, bukan tidak mungkin suatu ketika harus
berada pada suatu tempat dengan suhu lingkungan yang ekstrim, terlalu tinggi
(panas) ataupun terlalu rendah (dingin). Terlebih ketika manusia berada pada
suhu lingkungan yang ekstrim tersebut, kita juga dituntut untuk melakukan
aktivitas fisik yang berada dalam waktu yang lama. Tubuh kita akan bekerja
lebih berat, tidak hanya untuk beradaptasi terhadap perubahan suatu lingkungan,
tetapi juga peningkatan metabolisme atau mekanisme fisiologis lain yang terjadi
dalam rangka pemenuhan kebutuhan energy untuk memberikan penampilan terbaik.
Misalnya, seorang atlet, harus bertanding pada lokasi yang berpindah-pindah
dengan suhu lingkungan yang mungkin sangat berbeda dengan suhu lingkungan
tempat tinggal dan latihannya. Dengan mengetahui mekanisme fisiologis adaptasi
tubuh terhadap perubahan suhu mampu memberikan penampilan terbaik, dengan
mengeliminir perubahan suhu lingkungan sebagai faktor pencapaian prestasi
maksimal.
PEMBAHASAN
Latihan Di Tempat Panas
Manusia memiliki kemampuan
untuk melakukan latihan di tempat yang panas dan dingin meskipun untuk itu
harus berjuang lebih berat jika dibandingkan dengan latihan pada suhu normal. Tubuh
kita dapat mentoleransi perubahan suhu yang terjadi di lingkungannya karena
memiliki kemampuan untuk mengontrol suhu tubuh. Ketika suhu lingkungan dingin,
kita dapat memelihara suhu tubuh dengan meningkatkan produksi panas tubuh dan
memakai pakaian berlapis. Ketika suhu lingkungan panas, tubuh kita akan
meningkatkan pengeluaran panas dengan mengeluarkan keringat, meningkatkan
aliran darah ke kulit, dan dengan melepasakan atau meminimalkan pakaian yang
digunakan.
Peningkatan suhu lingkungan
mengurangi gradien suhu yang berkenaan dengan panas antara suhu lingkungan dan
suhu permukaan kulit dan antara suhu permukaan kulit dan suhu inti tubuh. Semua
hal tersebut menahan pelepasan dari tubuh. Kita sudah mengetahui bahwa suhu
tubuh dapat meningkat, ketika suhu dari lingkungan lebih tinggi dibanding suhu
dari kulit. Selain itu juga, peningkatan kelembaban dapat menghadirkan suatu
penghalang terjadinya pelepasan panas tubuh melalui mekanisme evaporasi.
Seperti yang sudah didiskusikan sebelumnya, hal tersebut dilakukan dengan
menurunkan gradien tekanan uap antara kelembaban udara dan kelembaban pada
kulit kita (melalui keringat).
Kondisi suhu dan kelembaban
tinggi dapat mendatangkan suatu tantangan berat untuk proses pengaturan panas
pada seorang dalam olahraga tertentu. Kondisi semacam itu, kemungkinan
penghantaran dan penguapan panas sangat terbatas. Keterbatasan ini dapat digunakan khususnya
untuk membuat intensitas latihan. Dalam kondisi semacam itu dalam beberapa hal
merusak penampilan seseorang:
1.
Aliran darah ke kulit
setingkat dalam rangka mengurangi aliran darah yang menuju ke otot yang sedang
bekerja. Hal ini dapat menganggu pelepasan oksigen ke otot ini, sehingga
membatasi metabolisme aerobik.
2.
Tingkat pengeringan yang
tinggi sekali mungkin mengakibatkan dehidrasi yang diketahui dengan sendirinya
merusak penampilan daya tahan.
3.
Kemampuan yang terbatas
untuk menghilangkan panas yang perlu untuk mempertahankan keseimbangan panas
dengan cara mengurangi produksi panas metabolis yaitu dengan cara mengurangi
intensitas latihan.
Pernyataan tersebut diatas umunya mengingatkan bahwa kapasitas olahraga
dengan waktu yang panjang, dengan intensitas sedang sampai tinggi pada saat
kondisi panas dan atau lembab akan merusak seseorang. Pengalaman menunjukkan
bahwa sesungguhnya penampilan olahraga ketahanan tidak pernah terjadi dalam
lingkungan panas. Tujuannya agar pelatih dan seseorang mengenal keterbatasan
ini dan merencanakan yang sesuai bagi mereka. Pelatih jangan mengharapkan
penampilan puncak seseorang ketahanan dalam kondisi tekanan panas.
Aklimatisasi Terhadap Panas
Toleransi terhadap panas
meningkat dengan aklimatisasi. Diperlukan cukup waktu untuk terjadinya hal ini bila seseorang harus melakukan olahraga di
tempat panas, setelah bermukim di tempat dingin. Proses ini meningkatkan respons sirkulasi dan pengeringatan yang memfasilitasi pembuangan panas dan
memperkecil peningkatan suhu tubuh.
Secara khusus, aklimatisasi dicirikan oleh meningkatnya efisiensi mekanisme pengeringatan. Perbaikan kapasitas berkeringat dan
kemampuan berkeringat lebih awal adalah gejala umum, disertai dengan distribusi keringat yang lebih merata pada permukaan tubuh. Mekanisme ini meningkatkan perbedaan suhu antara inti tubuh dengan
bagian perifernya dan dengan demikian memungkinkan pembuangan panas dengan
aliran darah yang lebih sedikit ke kulit. Bersamaan dengan itu aliran darah
yang lebih besar dalam otot selama kerja memungkinkan penyediaan daya secara
lebih aerobik. Dengan demikian orang yang telah beraklimatisasi, selama kerja
submaximal yang intensif membentuk asam laktat yang lebih sedikit dan dengan
demikian durasi kerja jadi memanjang.
Selama tes toleransi (dengan latihan standar) terhadap panas, orang yang
telah beraklimatisasi akan memperlihatkan stabilitas sirkulasi (frekuensi nadi
berkurang) dan pengurangan suhu tubuh. Volume plasma yang dilaporkan meningkat
selama aklimatisasi mungkin sekali yang berperan dalam pengaturan stabilitas
sirkulasi, yang juga disertai konservasi garam oleh ginjal maupun kelenjar
keringat. Bila seseorang sedang menjalani proses aklimatisasi, maka keringat secara
progresif kandungan garamnya menjadi lebih sedikit, artinya keringat secara
progresif menjadi lebih hipotonis. Tetapi proses aklimatisasi terhambat oleh
dehidrasi, dan oleh karena itu untuk terjadinya adaptasi yang optimal,
pemulihan keseimbangan air harus sudah sepenuhnya selesai setiap kali akan melakukan latihan di tempat panas.
Umumnya orang sependapat bahwa untuk kerja sedang dengan durasi 60-90 menit/hari di lingkungan panas, maka
aklimatisasi lengkap akan terjadi dalam waktu ±satu minggu. Besar dan kecepatan dari de-aklimatisasi dan
re-aklimatisasi agaknya juga tergantung kepada tingkat kebugaran jasmani yang
bersangkutan.
Latihan intensif di tempat sejuk sangat meningkatkan respons
termoregulasi tetapi tidak akan menghasilkan aklimatisasi penuh seperti yang terjadi bila latihan
dilakukan di lingkungan panas. Tetapi peningkatan suhu rectal sampai mendekati
40°C dalam latihan lari interval memang menjadi perangsang untuk peningkatan
respons sirkulasi dan termoregulasi yang merupakan ciri khas orang yang telah
beraklimatisasi.
Prosedur penambahan lapisan
pakaian extra selama persiapan
menghadapi event di tempat panas telah diteliti sebagai cara untuk meningkatkan
aklimatisasi. Tetapi sekalipun menyebabkan terjadinya peningkatan respons
termoregulasi pada setiap sessi latihan, praktek itu hanya memberikan hasil
yang terbatas sebagai satu metode
aklimatisasi artificial (Dawson & Pyke 1988).
Pakaian
Pendinginan evaporatif menjadi sangat terhambat oleh pakaian yang
impermeable. Satu mikroklimat yang
lembab terbentuk antara kulit dan pakaian, yang meningkatkan suhu kulit disertai pengeluaran keringat yang banyak
dan kehilangan cairan tanpa pendinginan evaporatif yang cukup.
Perlengkapan yang digunakan pada American football menghambat pengaturan suhu
tubuh. Sifat penghalang pembuangan panas dari pakaian seragam, menghambat
evaporasi keringat dan berakibat meningkatnya suhu kulit di daerah yang
tertutup pakaian; juga terjadi kenaikan suhu rectal, kecepatan pengeluaran
keringat dan frekuensi denyut nadi
dibandingkan dengan bila hanya memakai pakaian pendek, atau pakaian pendek
dengan beban tambahan di punggung (ransel) yang beratnya sama dengan berat
seragam itu. Juga terdapat penurunan suhu rectal yang lebih lambat pada masa
pemulihan bila tetap memakai seragam tersebut (Mathews et al. 1969). Oleh
karena itu dibuat penelitian dengan menanggalkan seragam tersebut untuk
mempercepat proses pendinginan setelah latihan berat di lapangan. Dari hasil
penelitian ini dibuatlah kaos dari bahan seperti jaring ikan yang saat ini
banyak digunakan oleh team football di musim panas di Negara Amerika Serikat.
Berbeda dengan seragam American football yang penting untuk perlindungan
tubuh, yang digunakan di Australia sangat sedikit menimbulkan gangguan masalah
panas karena terbuat dari katun yang teranyam jarang atau dari serat woll,
dibandingkan dengan bila terbuat dari serat sintetik yang teranyam rapat
misalnya serat nylon. Pada hari-hari yang sangat panas, evaporasi dapat
diperbesar dengan menarik kaus keluar dari celana selama masa istirahat untuk
memaparkan permukaan kulit abdomen, punggung dan dada. Jumlah pita protektif
yang digunakan hendaknya di kurangi sampai minimal. Pakaian lengan pendek memungkinkan permukaan yang luas untuk proses pendinginan evaporatif tetapi juga
meningkatkan kemungkinan terjadinya terbakar matahari. Pada banyak cabang
olahraga, topi merupakan alat pelindung yang sangat bermanfaat terhadap panas
matahari. Pemain-pemain cricket dapat meminimalkan masalah panas ini dengan menggunakan topi dan pakaian putih lengan panjang yang terbuat dari
serat alami disertai istirahat yang sering untuk minum.
Sweater karet yang digunakan banyak orang untuk menurunkan berat badan,
mempunyai potensi yang membahayakan dan telah menyebabkan terjadinya kematian
oleh karena heat stroke (Brahams 1988). Walau pengeluaraan keringat
sangat banyak, tetapi ia tidak dapat
diuapkan melalui pakaian yang impermeable dengan akibat suhu tubuh dapat meningkat sampai tingkat yang
kritis.
Penggantian Cairan
Bila volume darah berkurang secara signifikan oleh karena dehidrasi atau
bila aliran darah ke otot oleh karena sesuatu hal harus dibagi (ke kulit)
misalnya pada kerja di tempat panas, maka kerja fisik endurance dan pengaturan
suhu menjadi terganggu. Menurunnya performance sudah terlihat setelah dehidrasi
mencapai 2% berat badan. Pada tingkat
dehidrasi yang lebih tinggi terjadi penurunan performance endurance yang
dramatis, peningkatan denyut nadi dan suhu rectal.
Untuk
menghindari hal tersebut maka air yang hilang perlu diganti. Tetapi tidak perlu sampai mengganti seluruh keringat yang
keluar. Hal ini disebabkan oleh karena pertama: tubuh membentuk air selama
olahraga, kedua: minum banyak cairan dapat menyebabkan lambung menjadi penuh
dengan air yang dapat menimbulkan rasa terganggu. Penggantian sebanyak 40-50%
keringat yang hilang telah mencukupi untuk mengurangi risiko terjadinya
overheating dan gangguan penampilan
endurance.
Keringat banyak mengandung konstituen plasma tetapi dalam kadar yang
sangat lebih rendah. Elektrolit
terpenting yaitu Na dan Cl, kadarnya sepertiga dari kadarnya di dalam plasma.
Pada orang yang terlatih, kadar garam dalam keringat biasanya lebih rendah dan
kadarnya meningkat pada kerja berat bila keringatnya menjadi lebih banyak. Oleh
karena tubuh kehilangan lebih banyak air dari pada elektrolit selama latihan,
maka cairan tubuh menjadi lebih pekat.Oleh karena itu terdapat kebutuhan yang
lebih mendesak untuk mengganti air dari pada elektrolit selama masa kerja
berat.
Pola penggantian air, sebagian ditentukan oleh pola kesadaran yang
bersangkutan untuk minum, beratnya kerja dan kondisi lingkungan. Namun terdapat
beberapa petunjuk yang berguna untuk dituruti. Satu faktor kunci penting adalah
kecepatan keluarnya air dari lambung ke intestinum, oleh karena hanya di
intestinum air dapat diserap dengan sempurna. Walau terdapat perbedaan
individual dalam fungsi ini, tetapi faktor-faktor di bawah ini hendaknya
dipertimbangkan.
Volume cairan
Walau jumlah besar air (> 600 ml atau ±3 gelas) cenderung keluar lebih
cepat dari lambung dari pada jumlah yang lebih sedikit, namun masuknya air
dalam jumlah besar ke dalam lambung dapat sangat mengganggu dan membatasi
pernafasan serta menyebabkan rasa mual. Oleh karena itu jumlah yang lebih kecil
(150-200 ml atau ±satu gelas) yang diminum secara teratur (tiap 15-20 menit pada udara panas) adalah lebih
sesuai. Pada hari-hari yang lebih
dingin, jumlah tersebut diminum tiap 25-30 menit biasanya sudah mencukupi untuk
mengimbangi hilangnya air pada keringat.
Suhu cairan
Cairan dingin (5-10°C) lebih cepat meninggalkan lambung dan oleh karena
itu lebih disukai. Tidak terdapat bukti-bukti yang kuat yang mengemukakan bahwa
minum dingin menyebabkan kejang lambung atau gangguan irama jantung.
Kandungan cairan
Osmolalitas cairan atau kadar zat-zat terlarut misalnya elektrolit dan
glukosa juga menentukan kecepatan pengosongan lambung. Minuman yang pekat lebih
lambat meninggalkan lambung dari pada yang lebih encer.
Merupakan masalah khusus adalah kandungan karbohidrat. Sejumlah kecil glukosapun (35 g/L) memperlambat
pengosongan lambung. Kadar glukosa yang rendah hanya memberikan cadangan daya
yang sangat sedikit, dan agar karbohidrat dapat diperoleh dalam jumlah yang
mencukupi, diperlukan minum yang banyak. Hal ini dapat mengganggu. Oleh karena
itu sekarang dipergunakan polimer
glukosa yang pengaruh hambatannya terhadap pengosongan lambung lebih kecil,
dengan demikian keseimbangan air dan glukosa yang dimakan lebih mudah disesuaikan.
Mengenai perlunya menambah air dan garam, dijawab oleh kenyataan bahwa
kadar elektrolit ini dalam keringat adalah rendah (0.5-0.6 %), sekalipun pada
kerja berat yang lama. Kalium dan Magnesium yang hilang lebih sedikit lagi
(Costill & Miller 1980). Dengan asumsi bahwa kadar elektrolit pada awal
olahraga adalah normal, maka kecil kemungkinannya
untuk terjadinya defisiensi selama olahraga yang berlangsung 2-3 jam. Tetapi
keringat yang berlebihan pada kerja yang lama dan pada hari yang berturut-turut,
mungkin perlu suplemen garam untuk memelihara kadar elektrolit dalam cairan
tubuh. Kadar mineral yang banyak dalam tata-gizi dan pengaturan kompensasi oleh
ginjal, akan mencegah terjadinya kekurangan mineral dalam cairan tubuh. Tablet
garam sebaiknya tidak digunakan pada
penggantian cairan selama olahraga, oleh
karena bila terjadi hipertoni cairan dalam lambung, dapat menyebabkan
terjadinya mual dan muntah.
Atlet harus disadarkan bahwa penurunan berat badan dengan pengeringatan
tidak akan menghilangkan lemak tubuh. Jockey, pedayung, petinju dan pengangkat
berat yang mempunyai berat badan di
atas batas, bila melakukan penururnan berat badan dengan pengeringatan yang
banyak akan membahayakan kesehatannya oleh karerna terjadinya dehidrasi kronik.
Penurunan berat badan dengan melakukan olahraga dengan memakai sweater
karet atau mandi sauna berlama-lama, juga
sangat tidak dianjurkan untuk olahragawan yang aktif. Pelatih harus melakukan penimbangan
berat badan harian sebelum dan sesudah latihan dan harus mendorong atlet untuk
sedikitnya mendapatkan kembali 80% dari berat badannya yang hilang sebelum melakukan
latihan berikutnya. Atlet harus didorong untuk minum bebas antara tiap sessi
latihan berat yang dilakukan dalam kondisi panas. Tetapi alkohol tidak
dianjurkan dalam hal ini, oleh karena
akan menurunkan sekresi hormon antidiuretik dari kelenjar pituitari (kelenjar hipofise) yang akan memperberat dehidrasi dengan menginduksi terjadinya
diuresis.
Gejala dan Pertolongan Terhadap Cedera Panas
·
Kejang panas (Heat cramps)
Kejang panas disebabkan oleh karena berkeringat banyak dan lama dan/atau
asupan garam yang tidak cukup. Kejang terjadi pada otot-otot yang aktif. Kejang
dapat disembuhkan dengan istirahat dalam lingkungan yang sejuk, mengganti
cairan (yang mengandung garam),dan
menambah-kan garam dalam makanan.
·
Pingsan
panas (Heat syncope)
Vasodilatasi perifer yang menyertai suhu lingkungan yang tinggi, diikuti
dengan penimbunan darah di vena-vena,
menyebabkan terjadinya gangguan pada sirkulasi.
Hal ini dapat menyebabkan syncope dan
collapse, terutama pada usia lanjut dengan tonus vasomotor yang jelek. Kondisi
itu disertai dengan kelemahan, kelelahan
dan hipotensi dan paling sering terjadi segera setelah olahraga oleh karena
terhentinya mekanisme pompa otot. Penyembuhan dilakukan dengan membaringkan
penderita di ruangan yang dingin, meninggikan kaki dan memberinya minum setelah
sadar.
·
Kelelahan panas (Heat exhaustion) dan Kegawatan
panas (Heat stroke)
Kelelahan panas dan kegawatan panas merupakan satu kontinum (kesinambungan) yang disebabkan
oleh karena keluar keringat yang banyak dan lama dalam lingkungan panas dengan
asupan cairan yang tidak adekuat atau tanpa waktu aklimatisasi yang cukup. Gejala-gejalanya adalah
pusing, sakit kepala, mual, nadi cepat, suhu tubuh meningkat dan gangguan
koordinasi. Penderita dapat menjadi tidak sadar yang merupakan tanda kegawatan
panas yang berat. Tanda-tanda awal kegawatan panas yang terjadi pada gerak
jalan yang panjang adalah menurunnya secara progresif kemampuan mengeluarkan
keringat, disertai dengan bingung, delirium, collapse, coma dan kulit yang kering dan panas. Tetapi
Sutton et al. (1972) menjumpai terjadinya kegawatan panas pada lari gembira untuk jangka pendek
dengan suhu rectal 42-43°C, tanpa ada dehidrasi yang jelas pada penderita yang
kulitnya dingin dan lembab, sehigga mengacaukan gambaran klinisnya (Gb 6.3). Pertolongan
harus meliputi upaya segera
menurunkan suhu tubuh. Cara terbaik yaitu dengan memberi cairan
intra vena dan kompres dingin.
·
Stroke
Terjadi karena kegagalan
sistem pengaturan suhu panas tubuh akibat terkena tekanan panas yang
berlebihan. Gejalan-gejalanya termasuk suhu tubuh yang tinggi, kulit kering dan
panas, tidak terkendali dan tidak adanya kesadaran. Serangan ini dapat fatal
apabila tidak dirawat secara tepat.
Latihan Di Tempat Dingin
Suatu studi telah
memperlihatkan bahwa ketika seseorang melakukan aktivitas atau berolahraga
dalam suhu lingkungan yang dingin, pada umumnya mereka berlatih pada intensitas
tertenntu yang akan mempertahankan panas tubuh yang dihasilkan oleh proses
metabolisme agar tidak terlalu banyak yang keluar dari tubuh. Oleh karenanya
lebih baik jika aktivitas atau latihan tersebut tidak dilakukan diluar ruangan
atau di alam terbuka. Suhu lingkungan yang dingin tidak secara cepat
berpengaruh pada kesehatan, karena meskipun udara yang dihirup untuk bernafas
dingin tidak membuat jantung membeku. Ketika seseorang melakukan olahraga
dengan intensitas sedang dan melakukan inhalasi udara melalui hidung dari
lingkungan dengan suhu rendah sampai saat mencapai jantung, suhu udara yang
dihirup sudah mengalami perubahan suhu, dan menjadi hangat.
Bila harus melakukan
latihan/ pertandingan di luar ruangan atau di alam terbuka, berikut adalah
hal-hal yang perlu diperhatikan:
a.
Pada saat volume
paru-paru tinggi, yang terjadi pada saat olahraga dengan intensitas yang
tinggi, ketika seseorang mengkonsumsi udara melalui mulut dan suhu lingkungan
sangat dingin, dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada mulut, pharing,
trachea dan bahkan bronchus. Hal tersebut dapat dicegah dengan menggunakan
penutup hidung dan mulut untuk menahan air yang terkandung dalam ekshalasi
pernafasan. Hal tersebut dapat membuat nafas berikutnya lebih lembab dan
hangat.
b.
Meskipun kebanyakan orang
mampu melakukan intensitas latihan tertentu untuk mempertahankan pengeluaran
nafas, jika kelelahan terjadi pada sesi latihan yang cukup panjang. Intensitas
latihan menurun, dari hal tersebut mengurangi kemampuannya untuk memproduksi
panas dan menekan pelepasan panas dari tubuhnya. Jika pada kondisi tersebut
seseorang tidak menggunakan pakaian yang sesuai dan bisa melindungi tubuhnya,
dapat terjadi hypothermia (suhu tubuh yang relatif rendah). Beberapa orang
lebih dapat bertoleransi terhadap suhu dingin, seperti mereka yang memiliki
lebih banyak massa otot, bertubuh
pendek, atau mereka yang memiliki lebih banyak lemak tubuh.
c.
Sebelum melakukan aktivitas di udara terbuka,
pastikan bahwa kecepatan angin masih berada pada kondisi yang nyaman. Kombinasi
suhu lingkungan dan kecepatan angin yang bersuhu kurang dari -22°F, merupakan
suhu yang berbahaya untuk melakukan latihan. Bila suhu lingkungan sangat
rendah, sebaiknya mengadaptasi latihan untuk dapat dilakukan di dalam ruangan.
d.
Menggunakan pakaian yang
tepat adalah hal utama yang mengurangi besarnya persinggungan antara permukaan
kulit dengan lingkungan sekitarnya. Selama melakukan latihan, seseorang
mengeluarkan keringat, sebaiknya keringat yang dikeluarkan dievaporasikan pada
udara disekitarnya. Apabila hal ini tidak terjadi, pakaian justru dapat
mempercepat pelepasan panas dengan konduksi dan evaporasi, mengakibatkan
kedinginan. Pakaian berlapis sebaiknya digunakan pada kondisi tersebut, lapisan
yang terdekat dengan tubuh biasanya terbuat dari bahan fiber seperti
polypropylene yang dapat mentransport kelembaban dilepaskan dari permukaan
tubuh ke lapisan baju selanjutnya untuk di evaporasi, lapisan kedua sebaiknya
bersifat insulator. Di lapisan terluar gunakan jaket yang berfungsi sebagai
pemecah angin dan penahan air. 30-40% panas tubuh dapat dilepaskan hanya
melalui kepala, oleh karena itu sebaiknya digunakan kacamata dan topi sebagai
penahan.
Respon Fisiologis Tubuh
saat Latihan Di Cuaca Dingin
Pada kondisi umum, ketika
seseorang berada pada suhu lingkungan yang dingin, tubuh akan menekan pelepasan
panas dan meningkatkan produksi panas sebaik mungkin. Respon fisiologis tubuh
saat melakukan aktivitas olahraga di cuaca dingin secara khusus diibagi menjadi
dua, yaitu: respon fisiologis pada fungsi otot dan respon fisiologis respon
metabolik (Stock, JM., dkk).
Fungsi otot, suhu lingkungan
yang dingin sangat mempengaruhi kinerja otot, (1) sel-sel otot menjadi lemah
karena terjadi perlambatan laju metabolisme, (2) kemampuan pemendekan otot pada
vasokonstriksi dan power otot menurun signifikan, (3) kelelahan otot terjadi
lebih cepat, karena mekanisme kontraksi yang terjadi harus dapat memenuhi dua
kebutuhan fisiologis dalam waktu yang bersamaan, yaitu untuk menghasilkan
energi dan menampilkan performa latihan yang baik, dan pemenuhan kebutuhan
energi untuk mempertahankan suhu tubuh.
Respon metabolik, (1)
latihan yang berkepanjangan menstimulasi tubuh untuk melepaskan hormon-hormon yang
meningkatkan metabolisme lipid yaitu mobilisasi dan oksidasi asam lemak bebas
dalam darah. Saat latihan di cuaca dingin mobilisasi dan oksidasi asam lemak
bebas dalam darah cenderung lebih rendah daripada saat berlatih di suhu
lingkungan normal, tetapi juga meningkatkan pelepasan thyroksin dan
chatecholamine yang merangsang tubuh untuk meningkatkan laju metabolik dengan
“mekanisme menggigil”, menggigil adalah suatu gerakan diluar kontrol sadar
melibatkan kontraksi dan relaksasi otot rangka, dapat meningkatkan laju
metabolik sebanyak 4-5 kali lebih besar dibanding pada kondisi normal, laju
metabolisme yang cepat akan menghasilkan panas lebih besar, (2) paparan pada
suhu lingkungan yang dingin memicu vasokonstriksi pembuluh darah tepi yang
berada pada jaringan subcutan (banyak terdapat jaringan lemak), menyebabkan
berkurangnya aliran darah pada dan dari tempat asam lemak bebas termobilisasi,
penurunan kecepatan sirkulasi di jaringan tepi akan mengurangi kecepatan aliran
darah pada ekstremitas juga permukaan kulit, hal tersebut dilakukan untuk
menyimpan panas agar tetap tertahan pada jaringan dalam tubuh, lemak subkutan
sangat membantu proses penyimpanan panas, karena lemak adalah insulator yang
baik (3) glukosa darah dan glikogen otot memiliki peranan penting pada
toleransi tubuh terhadap suhu dingin dan latihan daya tahan (waktu yang
panjang), (4) hypothalamus akan kehilangan kemampuan mempertahankan suhu tubuh
bila suhu tubuh menurun sampai 34.4°C.
Aklimatisasi Terhadap
Dingin
1.
Paparan suhu dingin pada
tubuh dalam jangka waktu yang lama meningkatkan lapisan lemak subcutan
2.
Beberapa area pada kulit
(contoh: tangan) dapat meningkatkan kadar toleransinya terhadap suhu dingin.
3.
Paparan berulang pada
suhu dingin menyebabkan aliran darah perifer dan suhu kulit juga memiliki
toleransi yang lebih tinggi terhadap suhu dingin
Pengetahuan untuk aklimatisasi terhadap dingin, jauh lebih sedikit daripada
terhadap panas.
Pakaian
Pakaian yang bersifat isolator akan memanaskan udara yang terperangkap
sekitar tubuh dan mencegah pembuangan panas melalui konveksi. Satu masalah
dalam olahraga adalah bahwa tebal pakaian harus disesuaikan dengan intensitas
olahraga dan perubahan iklim. Diperlukan lebih banyak pakaian selama istirahat
dari pada selama olahraga di
lingkungan dingin,dan selama olahraga ringan dari pada selama olahraga berat.
Kerja yang dua kali lebih berat yaitu dari 3 menjadi 6 METS (1 MET = metabolic
equivalent yaitu pemakaian O2 pada istirahat yang nilainya 3.5
ml/kg/men) yang dilakukan dalam suhu lingkungan 5oC memerlukan sepertiga tebal pakaian sebelumnya. Selama
penjelajahan (hiking) dalam udara dingin pengeringatan berlebihan harus
dihindari oleh karena dapat menyebabkan terjadinya pendinginan evaporatif yang
cepat dan berlebihan pada saat istirahat. Pada suhu lingkungan di bawah 00C
keringat yang masuk ke dalam pakaian juga dapat membeku sehingga ruang udara
(di antara serat-serat pakaian) menjadi mati karena itu nilai isolasinya
menjadi hilang. Pengeringatan dapat diminimalkan dengan mengurangi tingkat
aktivitas dan/atau mengatur pakaian sesuai kebutuhan. Sifat isolasi pakaian
juga menjadi berkurang bila pakaian menjadi basah oleh sebab-sebab external. Tetapi dengan pakaian
dari wol, masalah ini menjadi berkurang dibandingkan dengan bahan pakaian dari
polypropylene yang lebih mutakhir. Pakaian rangkap yang kedap air penting untuk
menjaga nilai isolasi pakaian di dalamnya, tetapi hendaknya memungkinkan
terjadinya ventilasi seperti misalnya pakaian yang terbuat dari bahan seperti kulit (cortex type material).
Pakaian yang memberikan isolasi sesuai dengan intensitas latihan sangat
berguna. Jaket yang terbuka di bagian
depan, lebih menyenangkan dari pada pullover. Topi yang dapat ditarik ke
belakang adalah ideal untuk selang waktu antar kegiatan. Tali untuk pengencang
atau pengendur pakaian di leher, pinggang, lengan dan tungkai dapat mengubah
nilai isolasi dengan menyenangkan. Adalah lebih penting untuk mengisolasi tubuh
dari pada extremitas. Rasio tingkat isolasi yang direkomendasikan adalah 3
untuk tubuh, 2 untuk lengan dan 1 untuk tangan dan tungkai (Kaufman 1982) dan
topi akan mengurangi pembuangan panas dari kepala. Inaktivitas segera setelah
pengeringatan banyak, yang disebabkan oleh karena latihan berat atau kompetisi
dapat mengundang pendinginan yang cepat dan turunnya suhu tubuh yang dramatis.
Hal ini dapat terjadi pada pergantian pemain setelah permainan dalam team yang
intensif atau mungkin oleh karena terpaksa berhenti dari kegiatan yang bersifat
daya tahan. Dalam hal demikian, perlu persediaan pakaian yang kering dan hangat
untuk mencegah menurunnya suhu tubuh.
Pembuangan panas secara radiasi dapat diminimalkan dengan melipat tubuh
dan mengurangi luas permukaan tubuh yang terbuka. Respons perilaku demikian
biasa dijumpai bila beristirahat di kondisi dingin. Direkomendasikan bagi
orang-orang yang menunggu pertolongan di air dingin hendaknya mengenakan jaket
penyelamat dan melipatkan pahanya ke dada (sikap demikian disebut sebagai HELP:
Heat Escape Lessening Posture =Sikap mengurangi kehilangan panas). Bila
dibandingkan dengan tubuh yang terentang dalam air yang mengalir, sikap HELP
telah terbukti secara signifikan mengurangi kecepatan pendinginan tubuh dan
memperpanjang masa hidup. Hendaknya juga diusahakan untuk sebanyak mungkin
mengeluarkan bagian tubuh dari air, oleh karena pembuangan panas ke udara
sangat lebih sedikit dari pada ke air. Kepala adalah juga tempat pembuangan
panas yang cukup besar. Berada dalam air yang mengalir atau berenang untuk
jangka waktu yanglama tidak dianjurkan bila perenang terancam oleh hipotermia,
oleh karena pergerakan lengan memudahkan pembuangan panas secara konveksi.
Keputusan untuk berenang hendaknya hanya dilakukan bila pantai adalah dekat,
dalam hal lain maka menunggu pertolongan sering merupakan keputusan yang lebih
baik (Hayward et al. 1975).
Cedera Atau Penyakit yang
dapat Timbul Akibat Suhu yang Dingin
1.
Hipotermia
Hipotermia
ditandai adanya rasa sangat lelah, menggigil, kehilangan pengendalian gerak,
disorientasi dan menurunnya kemampuan menilai dan membuat alasan untuk suatu
keputusan. Dengan menurunnya suhu lebih lanjut, menggigil berhenti dan orang
kehilangan kesadarannya. Bila suhu inti tubuh turun di bawah 28°C maka jantung
mengalami fibrilasi dan orang akan meninggal.
Pertolongan
pertama terhadap korban kedinginan adalah meminimalkan pembuangan panas lebih
lanjut dan menambahkan panas kepada tubuhnya. Di lapangan terbuka, penting
untuk menempatkan korban di tempat terlindung yang sebebas mungkin dari angin,
meyakinkan bahwa di sana terdapat isolasi yang memadai terhadap tanah dan
mengganti pakaian yang basah dengan yang kering. Penderita hendaknya dipanaskan
secara berangsur di bawah selimut atau dalam kantung tidur yang telah
dihangatkan, dan hendaknya diberi minum yang hangat dan bergula. Penderita
harus tetap dalam keadaan terjaga sampai suhu tubuhnya kembali normal. Bila
penderita tidak sadar maka perhatian diarahkan kepada jalan nafas dan
diberlakukan managemen terhadap orang yang tidak sadar. Pertolongan di rumah
sakit berada di luar bahasan dan untuk informasi yang lebih rinci, pembaca
hendaknya mengacu kepada literatur yang sesuai.
2.
Gigitan beku (Frostbite)
Gigitan
beku terjadi karena pendinginan setempat, tetapi juga oleh karena adanya
hipotermia umum yaitu bila suhu inti tubuh telah turun di bawah 35°C. Jaringan
khususnya pada bagian ujung-ujung tubuh jadi membeku, terbentuk kristal-kristal
interstitial dan terjadi exudasi plasma disertai pembentukan vesikel. Terdapat
juga sejumlah perubahan olahdaya yang dapat lebih memperkuat konstriksi dan
iskemia. Bagian tubuh yang paling rentan mempunyai rasio LPT/MT yang besar
yaitu jari-jari tangan dan kaki, hidung dan telinga. Jaringan misalnya saraf,
otot dan pembuluh darah dapat rusak pada suhu dekat diatas titik beku. Bagian tubuh
yang terkena hendaknya dipanaskan dalam air panas sampai 40°C, sampai mencair
dan hendaknya tetap dipertahankan dingin untuk mengurangi olahdayanya dan
meminimalkan radang. Bagian itu kemudian ditutupi dan penderita dihangatkan
dibawah selimut. Di lapangan, bila ada kemungkinan terjadi gigitan beku ulang,
anggota tubuh itu hendaknya tidak dicairkan, karena jaringan yang mungkin rusak
akan jauh lebih besar daripada bagian tubuh yang tetap dibiarkan beku.
PENUTUP
Kesimpulan
Aklimatisasi
merupakan suatu upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi dari suatu organisme terhadap suatu lingkungan baru yang akan
dimasukinya. Kemampuan seseorang untuk beradaptasi terhadap lingkungan
sekitarnya berbeda antara satu dan lainnya, hal tersebut dapat terlihat pada
tingkat aklimatisasinya terhadap suhu. Pada saat melakukan aktivitas atau
latihan pada suhu yang tinggi akan menyebabkan kehilangan banyak cairan, oleh
karena itu tubuh akan menjalankan beberapa mekanisme fisiologis mengeluarkan
panas untuk menstabilkan suhu inti tubuh, dengan tetap memperhatikan dan
menjalankan usaha-usaha untuk menggantikan cairan tubuh yang keluar dengan
membawa serta mineral tubuh baik secara internal maupun dengan usaha eksternal.
No comments:
Post a Comment