Sponsor

Sunday 24 November 2013

BEHAVIORISME GESTALT


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Belajar merupakan proses hidup yang sadar harus dijalani semua manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Kemampuan manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Secara formal, belajar dilakukan di lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, maupun perguruan tinggi. Proses belajar juga bisa dilakukan di tempat kursus, pelatihan, dan aktivitas pendidikan lainnya yang luas dan tak terbatas.
Dalam proses belajar ada seperangkat peristiwa eksternal atau lingkungan yang dirancang untuk mendorong dan mendukung belajar siswa yaitu penyusunan teori belajar. Teori belajar merupakan teori yang dikemukakan oleh para peneliti dalam upaya mendeskripsikan bagaimana manusia belajar. Dengan demikian akan membantu manusia dalam memahami karakteristik serta pendekatan-pendekatan dalam proses belajar. Salah satu teori belajar yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah adalah teori belajar kognitivisme yang dikemukakan oleh Gestalt.

Teori belajar kognitivisme menekankan pada bagaimana informasi diproses dan diolah. Berakar pada aliran psikologi kognitivisme, maka teori belajar kognitivisme memusatkan perhatian pada cara manusia merasakan, mengolah, menyimpan, dan merespons informasi. Teori belajar kognitivisme bersifat ilmiah karena teori-teorinya dapat diuji dan ditunjang dengan penelitian yang valid. Pakar psikologi kognitif telah menemukan cara-cara untuk menyelidiki proses mental. Psikologi kognitif berhasil memberikan penjelasan yang baik tentang pengaruh proses mental terhadap perilaku manusia. Jadi, teori belajar kognitivisme memberikan kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar dan pembelajaran.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, pokok pembahasan dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.    Apa hakekat teori Gestalt?
2.    Apa prinsip-prinsip teori Gestalt?
3.    Apa hukum-hukum belajar teori Gestalt?
4.    Bagaimana implikasi teori gestalt dalam pembelajaran penjas ?

C.  Tujuan Penulisan Makalah
Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka tujuan pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1.    Untuk mengetahui hakekat teori gestalt
2.    Untuk mengetahui prinsip-prinsip teori gestalt
3.    Untuk mengetahui hukum-hukum belajar gestalt
4.    Untuk mengetahui implikasi teori gestalt dalam pembelajaran penjas

D.  Manfaat Penulisan Makalah
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1.    Bagi pembaca, makalah ini dapat menambah wawasan serta meningkatkan pemahaman tentang teori pembelajaran gestalt dan implikasinya dalam pembelajaran penjas.
2.    Bagi Dosen Pengampu Mata Kuliah
Diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan penulis, dan mahasiswa sehingga memperoleh pengetahuan tentang teori gestalt dan implikasinya dalam pembelajaran penjas.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Teori Gestalt                           

Gerakan gestalt dianggap pertama kali muncul pada tahun 1912 melalui artikel Max Wertheimer yang berjudul “On Apparent Movement”. Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Kemunculan gestalt merupakan bagian reaksi terhadap behaviorisme, strukturalisme yang berkembang di Amerika, kemunculan pendatang baru ini justru di Jerman. Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Peletak dasar teori gestalt adalah Max Weitheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler yang meneliti tentang insight pada simpanse (Sugihartono, 2007:105).
Sejak awal Max Wertheimer sudah bekerja sama dengan dua orang tersebut yang juga sudah dianggap sebagai bapak pendiri dari teori gestalt Kohler dan koffka berpartisipasi dalam eksperimen yang pertama dilakukan oleh Wertheimer, meskipun ketiganya memberi kontribusi sendiri-sendiri, namun ide-ide mereka selalu mirip satu dengan yang lain sampai akhirnya mampu menyatukan gagasan sehingga menjadi sebuah gerakan. Mereka tidak hanya bekerja bersama, bahkan mereka menyatukan keyakinan dalam melakukan perlawanan terhadap behaviorisme. Hal ini bukanlah kebetulan bahwa buku Kohler pada tahun 1929, Gestalt Psychology, didedikasikan untuk Wertheimer, dan buku Koffka tahun 1935, Principles of Gestalt Psychology, melahirkan persembahan, “Untuk Wolfgang Kohler dan Max Wertheimer sebagai terima kasih untuk persahabatan dan inspirasinya, Guy R. Lefrancois (1995) dalam Jurnal Falasifa. Vol. 2 No. 1 Maret 2011.

Aliran gestalt muncul di Jerman sebagai kritik terhadap strukturalisme Wundt. Kehadiran aliran gestalt sebagai bagian dari aliran kognitivisme juga merupakan kritik terhadap aliran yang sebelumnya yaitu behaviourisme. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Kontribusi penting dari gestalt adalah kritiknya pada pendekatan molekur dari behaviourisme yang menekankan konsep stimulus-respon (S-R). Psikolog gestalt mengemukakan bahwa otak secara otomatis mengubah dan menata pengalaman serta menambah kualitas yang tidak ada dalam pengalaman inderawi. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh penggagas gestalt lebih tertuju pada persoalan persepsi. Menurut pemikir gestalt, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus yang mempengaruhi. Namun, manusia adalah makhluk individu yang utuh antara aspek rohani dan jasmani. Saat bereaksi dengan lingkungan, manusia tidak sekedar merespons secara mekanis dan seragam, melainkan melibatkan unsur subyektif yang antara masing-masing individu bisa berlainan. (Rahyubi, 2012: 96)
Teori gestalt memandang bahwa belajar merupakan proses yang didasarkan pada pemahaman (insight). Insight adalah pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Menurut teori gestalt, seseorang dikatakan berhasil dalam proses belajar jika mendapatkan insight. Insight diperoleh jika seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam kondisi tertentu. Dengan adanya insight, maka seseorang mengerti problem dan persoalan serta mampu mengatasinya. Inilah inti belajar. Jadi, yang penting bukanlah mengulang-ulang hal yang harus dipelajari, melainkan memahaminya dan mendapatkan insight. Menurut teori gestalt yang paling penting dalam proses belajar adalah individu mengerti apa  yang dipelajarinya. Untuk itu teori belajar gestalt kadang disebut juga sebagai teori insight. (Rahyubi, 2012: 80-82)


Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
  1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
  2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
  3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
  4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
B.  Prinsip-Prinsip Teori Gestalt

Aplikasi teori gestalt juga banyak dilakukan dalam konteks dinamika kelompok. Dasar berfikirnya adalah kelompok dianalogikan dengan individu, maka perilaku kelompok menjadi fungsi dari lingkungan dimana salah satu faktornya adalah anggota kelompok dan hubungan sosial. Apabila hubungan ini bernilai negatif, maka perilaku anggota akan menjauhinya dan dengan demikian tujuan kelompok semakin tidak tercapai. Sebaliknya, hubungan yang baik akan membuat anggota saling mendekati sehingga kerjasama yang lebih baik dalam mencapai tujuan kelompok. Dalam hal ini, pokok pandangan gestalt adalah obyek atau peristiwa tertentu (dalam hal ini kelompok yang bergabung untuk mencapai tujuan tertentu) akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
            Ada tujuh prinsip-prinsip teori gestalt antara lain
  1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
  2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu atau hal-hal yang saling berdekatan cenderung membentuk kesatuan. Prinsip ini menjelaskan bahwa bagian-bagian yang berdekatan cenderung dipersepsikan bersama dan akan menjadi satu kelompok dalam persepsi sendiri. Jadi, hal-hal yang berdekatan cenderung berbentuk gestalt.
  3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki atau hal-hal yang sama cenderung membentuk gestalt (keseluruhan). Prinsip ini menjelaskan bahwa bagian yang serupa cenderung dilihat sebagai suatu kelompok.
  4. 6
    Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
  5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan
  6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
  7. Kontinuitas (continuity) bahwa stimulus yang mempunyai kontinuitas antara satu dengan yang lain akan lebih diperhatikan menjadi kesatuan tersendiri. (Rahyubi, 2012: 88-89)
C.      Hukum-Hukum Belajar Gestalt
Dalam hukum-hukum belajar gestalt terdapat satu hukum pokok, yaitu hukum Pragnaz, dan empat hukum tambahan yang tuduk kepada hukum yang pokok itu, yaitu hukum-hukum keterdekatan, ketertutupan, kesamaan, dan kontinuitas (Hergenhan & Olson, 2008: 285).
1.      Hukum Pragnaz
Pragnaz adalah suatu keadaan yang seimbang. Setiap hal yang dihadapi oleh individu mempunyai sifat dinamis yaiutu cenderung untuk menuju keadaan pragnaz tersebut. Empat hukum tambahan yang tunduk kepeda hukum pokok, yaitu:
a.       Hukum keterdekatan
Hal-hal yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat cenderung dianggap sebagai suatu totalitas, contohnya:
Garis-garis diatas akan terlihat sebagai tiga kelompok garis yang masing-masing terdiri dari dua garis, ditambah dengan satu garis yang berdiri sendiri di sebelah kanan sekali.

b.      Hukum ketertutupan
Hal-hal yang cenderung menutup akan membentuk kesan totalitas tersendiri, contohnya:
Gambar garis-garis di atas akan dipersepsikan sebagai dua segi empat dan garis yang berdiri sendiri di sebelah kiri, tidak dipersepsikan sebagai dua pasang garis lagi setelah ada garis melintang yang hampir saling menyambung di antara garis-garis tegak yang berdekatan.
c.       Hukum kesamaan
Hal-hal yang mirip satu sama lain, cenderung kita persepsikan sebagai suatu kelompok atau suatu totalitas, contohnya:
O O O O O O O O O O
X X X X X X X X X X
O O O O O O O O O O
Deretan bentuk di atas akan cenderung dilihat sebagai deretan-deretan mendatar dengan bentuk O dan X berganti-ganti bukan dilihat dari deretan tegak.
d.      Hukum kontinuitas
Orang akan cenderung mengasumsikan pola kontinuitas pada obyek-obyek yang ada, contohnya:
Pada gambar di atas, kita akan cenderung mempersepsikan gambar sebagai dua garis lurus berpotongan, bukan sebagai dua garis menyudut yang saling membelakangi.

D.      Implikasi Teori Gestalt dalam Pembelajaran Penjas
            Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan teori gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan yang utuh. Guru memberikan suatu kesatuan situasi atau bahan yang mengandung persoalan-persoalan, dimana anak harus berusaha menemukan hubungan antar bagian, kemudian memperoleh insight agar dapat memahami keseluruhan situasi atau bahan ajaran tersebut. Insight sering dihubungkan dengan pernyataan spontan seperti “aha” atau “oh”, see now” (Rahyubi, 2012: 181)
Aplikasi suatu cabang olahraga harus dilakukan secara keseluruhan, bukan sebagai pelaksanaan gerak secara terpisah-pisah. Karena itu guru harus menanamkan pengertian agar siswa sadar akan keseluruhan kegiatan. Dengan kata lain, pemecahan keseluruhan aktivitas menjadi bagian-bagian yang terpisah akan menyebabkan siswa tidak mampu mengaitkan bagian-bagian tersebut. Karena itu keuntungan utama dari keseluruhan permainan yaitu menuntut siswa untuk mempersatukan bagian menjadi sebuah unit yang terpadu.
Implikasi teori gestalt dalam pembelajaran penjas yaitu sebagai berikut :
1.      Aktivitas suatu cabang olahraga harus dilakukan secara keseluruhan, bukan sebagai pelaksanaan gerak secara terpisah-pisah.
Dalam pembelajaran penjas, guru harus menanamkan pengertian agar siswa sadar pada keseluruhan aktivitas. Dengan kata lain, pemecahan keseluruhan aktivitas menjadi bagian-bagian yang terpisah menyebabkan siswa tidak mampu mengaitkan bagian-bagian tersebut. Untuk itu, siswa harus mampu mempersatukan bagian menjadi sebuah unit yang terpadu.
2.      Faktor insight penting untuk memecahkan masalah.

Guru dalam memecahkan masalah pembelajaran penjas yang sering muncul berupa suatu gerakan refleks tergantung pada keterampilan dasar untuk melakukan gerakan yang kompleks. Untuk itu, mental praktis dapat digunakan sebagai suatu prosedur yang bermanfaat untuk memperlancar proses belajar.
3.      Pemahaman tentang hubungan antara bagian-bagian dengan suatu keseluruhan penting bagi peragaan keterampilan yang efektif.
Dalam pembelajaran penjas pada materi ajar sepak bola, siswa harus memiliki pemahaman tentang kaitan antara posisi bola dan rangkaian geraknya sendiri sebelum dan sesudah siswa melakukan suatu teknik seperti menendang bola, menggiring bola atau teknik lainnya. Guru dalam hal ini menyampaikan informasi yang menuntut siswa memeroleh pemahaman yang mendalam tentang kaitan antara bagian-bagian di dalam konteks keseluruhan.
4.      Perilaku bertujuan (pusposive behavior) bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Dalam pembelajaran penjas, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
5.      Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
6.     

Oleh karena penumpukan pengetahuan dan keterampilan tidak sama dengan keseluruhan, maka kegiatan olahraga lebih baik diamati dan dihayati secara keseluruhan (gestalt, global) dari pada bagian demi bagian. Dalam pembelajaran penjas, guru dalam mengajarkan keterampilan olahraga hendaknya memahami dan mengusahakan agar siswa sadar akan kegiatan secara keseluruhan dengan utuh. Praktek kegiatan permainan secara utuh atau pada bagian-bagian yang lebih berarti bukan saja memperbaiki keterampilan khusus, tetapi juga membantu siswa menggabungkan bagian-bagian tersebut menjadi satuan pelajaran yang layak. Pertunjukan pendahuluan (preview) melalui demonstrasi, film, slide, penjelasan verbal dan kaji ulang (review) dapat membantu proses penggabungan.




































BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Belajar merupakan proses hidup yang sadar harus dijalani semua manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Dalam proses belajar ada seperangkat peristiwa eksternal atau lingkungan yang dirancang untuk mendorong dan mendukung belajar siswa yaitu penyusunan teori belajar.
Teori belajar merupakan teori yang dikemukakan oleh para peneliti dalam upaya mendeskripsikan bagaimana manusia belajar. Dengan demikian akan membantu manusia dalam memahami karakteristik serta pendekatan-pendekatan dalam proses belajar. Salah satu teori belajar yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah adalah teori belajar kognitivisme yang dikemukakan oleh Gestalt karena berhasil memberikan penjelasan yang baik tentang pengaruh proses mental terhadap perilaku manusia.
B.       Saran
1.       Bagi dosen pengampu mata kuliah Teori Pembelajaran dapat membantu dalam proses belajar mengajar di kelas dengan menerangkan dan menjelaskan materi yang menyangkut tentang Implikasi Teori Gestalt dalam Pembelajaran Penjas
2.      Bagi mahasiswa ilmu keolahragaan angkatan 2013 diharapkan makalah ini dapat memberikan pengetahuan terutama tentang Implikasi Teori Gestalt dalam Pembelajaran Penjas.







Daftar Pustaka


B.R Hergenhahn & Matthew H. Olson. (2008). Theoris of Learning Edisi Ketujuh. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.

Hidayati, Titin. (2011). Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran. Diambil pada tanggal 19 November 2013, dari http://jurnalfalasifa.files.wordpress.com/2012/11/1-titin-nur-hidayati-implementasi-teori-belajar-gestalt-pada-proses-pembelajaran.pdf
Rahyubi, Heri . (2012). Teori-Teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik. Bandung  : Penerbit Nusa Media.

Sugihartono, et. al. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press