Sponsor

Sunday 23 February 2014

OLAH RAGA DAN PEMBANGUNAN BANGSA BERKARAKTER



BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang Masalah
Pembangunan bangsa dan pembangunan karakter bangsa adalah dua istilah yang sering saling keterkaitan antara satu dengan lainnya. Hal ini sangat naturalis karena artikulasi sebuah bangsa memang berbeda dengan sebuah benda fisik biasa, misalnya sebuah hotel atau jembatan. Manakala sebuah hotel atau jembatan ambruk, maka keruntuhannya dapat tampak secara kasat mata, antara lain dapat kita saksikan berserakannya puing-puing hotel atau bangunan tersebut.
 Namun hal tersebut berbeda dengan sebuah bangsa. Bangsa adalah kumpulan dari tata nilai (values) dan norma . Sendi sendi yang menopang sebuah bangsa umumnya adalah berupa karakter dan mentalitas rakyatnya yang menjadi pondasi yang kukuh dari tata nilai bangsa tersebut. Keruntuhan sebuah bangsa umumnya ditandai dengan semakin lunturnya nilai nilai bangsa tersebut, walaupun secara fisik bangsa tersebut sebenarnya masih eksis. Sehingga seringkali kita menjumpai ada sebuah bangsa yang tak memiliki jati diri yang membumi akan mudah terombang-ambing bagai buih di lautan sana.
Meskipun sudah bukan barang baru, namun harus diakui bahwa fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman yang berpotensi untuk menggulung tata nilai dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan tata nilai pragmatisme dan populerisme asing misalnya liberalisme dan kapitalisme maupun hedonistik. Di pihak lain, globalisasi adalah juga sebuah fenomena alami, sebuah fragmen dari perkembangan proses peradaban yang harus kita lalui bersama. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada makalah ini globalisasi akan dijadikan sebagai acuan untuk mengulas pembangunan karakter bangsa menuju pada kemandirian bangsa.
Dan sehubungan bahwa generasi muda adalah komponen bangsa yang paling rentan dalam proses internalisasi tata nilai dan budaya, maka seberapa jauh peranan olahraga terhadap pembangunan karakter bangsa, secara khusus akan diberikan ulasan tentang peran kritis olahraga terhadap generasi muda dalam pembangunan dan pemberdayaan karakter kebangsaan yang positif, yang menunjang pada kemandirian bangsa di tengah terpaan arus globalisasi serta mampu mempertahankan kesatuan Bangsa dari upaya orang-orang yang tak dapat dipertanggungjawaban.

B.     Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini tidak meluas maka perlu dibatasi hanya seputar peranan Olahraga terhadap pembangunan karakter bangsa Indonesia sebagai media mempertahankan kesatuan Bangsa.

C.    Rumusan Masalah
Apakah peranan Olahraga terhadap pembangunan karakter bangsa Indonesia yang dapat meminimalisir disintegrasi Bangsa?


BAB II
PEMBAHASAN



A.    Pembangunan Bangsa yang Berkarakter
Pada prinsipnya memang membangun sebuah bangsa tidaklah cukup hanya dalam esensi fisik belaka. Perlu adanya suatu orientasi yang sedemikian sehingga esensi fisik tersebut berlanjut dalam suatu internalisasi untuk menuju pada pembangunan tata nilai atau sebaliknya pembangunan yang berorientasi pada tatanan fisik tersebut dijiwai oleh semangat peningkatan tata nilai sosio kemasyarakatan dan budaya, meskipun yang kedua ini umumnya lebih sulit dibandingkan dengan yang pertama. Setidaknya ada 2 (dua) argumen penting menyangkut pembangunan bangsa yang bertata nilai yakni :
1.      Pembangunan yang bertata nilai merupakan esensi dari suatu pemahaman pembangunan yang sepenuhnya berorientasi pada manusia sebagai subyek pembangunan atau lazim dikenal dengan human oriented development. Tanpa adanya orientasi hal yang demikian, maka pembangunan hanya akan mencakup tataran fisik dan tanpa disertai adanya pembangunan budaya serta peningkatan standar nilai kehidupan manusianya.
2.      Pembangunan yang bertata nilai juga berarti jalur untuk dapat tercapainya suatu tata pemerintahan yang baik, atau good governance. Karena hanya melalui orientasi pembangunan yang semacam ini sajalah, maka dapat diharapkan akan terjadi interaksi positif antara pemerintah dan masyarakatnya untuk secara arif mengelola sumber daya alam maupun juga tentunya penataan sumber daya manusianya yang sedemikian sehingga tidak bernuansa eksploitasi, apalagi mengarah pada sejumlah bentuk eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Dengan cara ini, maka tidak saja pembangunan yang bertata nilai akan semakin meningkatkan kondusifitas interaksi antara pemerintah dan masyarakatnya akan tetapi juga semakin mempercepat proses pembentukan suatu masyarakat madani yang lebih demokratis.
Untuk lebih dapat memahami dalam konteks yang lebih praktikal, maka dalam makalah ini akan diulas tentang sejumlah hal terkait dengan arti dan makna pembinaan karakter bangsa, potensi potensi bangsa yang harus dikembangkan untuk mencapai kemandirian bangsa yang bertata nilai, dan tentunya juga peran kritis dari generasi muda didalamnya.

B.     Arti dan Makna Pembinaan Karakter Bangsa
Mantan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Sri Dr. Mahathir Muhammad pernah mengeluarkan sebuah pernyataan retorik tentang pembinaan karakter suatu bangsa yakni,
Ketika suatu bangsa mulai membangun, maka yang pertama kali menjadi korban adalah kelembagaan keluarga berikut seluruh tatanan nilai kekeluargaan yang ada di dalamnya.
Pernyataan retorik di atas tentunya mengandung arti yang luas walaupun barangkali tidak terlalu paradoksal. Sebagian dari kita tentu memahami bahwa di negara-negara industri maju, memang umumnya fenomena hilangnya kohesivitas keluarga, sangat tampak dan sangat kentara, sejalan dengan semakin meningkatnya idiom modernisasi di negara-negara tersebut. Sehingga pembangunan dan pembinaan karakter suatu bangsa menjadi suatu istilah yang semakin sering diungkapkan sekaligus di perlukan pemahamannya yang lebih baik, khususnya dalam menjadikan pembangunan fisik suatu bangsa sebagai salah satu instrumen dalam pembinaan karakter manusianya.
Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh dari kemajuan kapasitas berpikir manusia, yang umumnya diartikulasikan dalam bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terutama dalam hal ini adalah teknologi informasi dan telekomunikasi. Kedua jenis teknologi ini secara sangat radikal telah mengakselerasi proses interaksi antar manusia dari berbagai bangsa dan memberikan dampak adanya amalgamasi berbagai kepentingan lintas bangsa atau lazim dikenal dengan globalisasi. Salah satu unsur yang sejatinya sudah ada dalam proses amalgamasi kepentingan antar manusia dari jaman dahulu kala adalah daya saing atau competitiveness.
Menurut Michael Porter (1999), dalam bukunya Daya Saing sebuah Bangsa (The Competitiveness of A Nation), pemahaman daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya, bukanlah baru muncul di era abad ke-21 sekarang ini. Peran daya saing dalam menjadikan suatu entitas lebih unggul dibandingkan lainnya sebenarnya bukan hal baru, akan tetapi sudah menjadi suatu keniscayaan bahkan semanjak masa lampau. Daya saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang sangat luas. Peran teknologi informasi dan telekomunikasi, menurut Porter, hanya sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya.
Keunggulan yang dimaksud di atas, nantinya dapat berkembang ke berbagai pengertian maupun penerapan, bisa berarti keunggulan ekonomi, keunggulan politik, keunggulan militer dan lain-lain. Daya saing pada esensinya dapat dipandang sebagai sebuah rantai nilai proses yang dapat dikendalikan dengan proses pembelajaran kontinyu atau continuous learning. Dalam alur proses rantai nilai tersebut terdapat dua hal yang sangat prinsipil:
1.      Pertama peran daya saing dalam menentukan keunggulan hanya dapat dijamin, jika daya saing tersebut bersifat adaptif. Yakni daya saing tersebut harus dikembangkan dan disesuaikan seiring dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Untuk dapat mencapai hal ini, maka setiap individu dalam entitas yang bersangkutan, entitas di sini dapat berupa sebuah organisasi, perusahaan ataupun bahkan sebuah negara, perlu melakukan proses pembelajaran yang terus menerus (atau sering disebut dengan continuous learning) dan selanjutnya juga melakukan proses internalisasi dari kapasitas pengetahuan yang didapat melalui pembelajaran tersebut. Hal yang terakhir ini menuntut adanya suatu perubahan sikap atau mental model dari setiap individu setelah melalui suatu proses pembelajaran tertentu.
2.      Kedua adalah bahwasanya daya saing perlu diarahkan pengembangan untuk adanya suatu pembinaan total dari kohesivitas antar komponen bangsa yang menuju pada keseimbangan harmonis antara suatu entitas dengan entitas lainnya. Hal yang kedua ini menuntut adanya suatu pembinaan karakter yang sedemikian, sehingga pengembangan daya saing tidak lantas diarahkan pada pola pikir yang bersifat predatorik, yakni saling mematikan dan membinasakan komponen bangsa lainnya, akan tetapi harus pada konteks adanya komplementasi sehingga peningkatan daya saing nantinya akan justru mengarah pada pencapaian kemajuan bangsa secara kolektif. Atau dengan kata lain pembinaan karakter bangsa harus mencetak suatu mentalitas daya saing bangsa yang bersifat komplementer dan non predatorik.
Berdasarkan dari dua hal yang sangat prinsipil di atas, maka arti dan makna pembinaan karakter bangsa di era yang sarat dengan daya saing sekarang ini adalah menyangkut tiga hal pokok yaitu:
1.      Artikulasi karakter bangsa adalah mengacu pada tingkat peningkatan kapasitas pengetahuan dari bangsa tersebut untuk terus melakukan pembelajaran agar semakin meningkat daya saingnya.
2.       Adapun pembinaan karakter bangsa akan diarahkan agar supaya kapasitas pengetahuan yang terbangun akan meningkatkan daya saing, dengan kondisi dimana daya saing tersebut akan memungkinkan adanya kemajuan kolektif atau kemajuan bersama, bukan kemajuan yang bersifat predatorik atau saling mematikan antara satu dengan lainnya.
3.      Sejalan dengan hal tersebut, maka pemaknaan dari karakter positif bangsa harusnya diarahkan untuk mencapai dua hal pokok di atas. Karakter positif bangsa yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia, antara lain adalah karakter pejuang. Dalam kaitan ini masyarakat internasional pun mengakui bahwa dua bangsa pejuang yang berhasil merebut kemerdekaannya dengan darah di era pasca Perang Dunia ke-2 hanya dua yakni bangsa Indonesia dan Vietnam. Selanjutnya masih ada lagi karakter pemberani dan sejumlah karakter positif lainnya. Seluruhnya perlu dimaknai dalam konteks peningkatan daya saing dan bersifat komplemen (atau non predatorik).
Dalam pemahaman yang bersifat artikulatif umumnya arti dan makna pembinaan karakter bangsa sudah bukan merupakan masalah lagi. Namun pada kenyataannya kita masih didera oleh sejumlah permasalahan dalam pembinaan karakter bahkan yang paling kritis justru yang menyangkut masalah daya saing, sebuah parameter yang semakin meningkat nilai pentingnya di era global sekarang ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada paragraf berikut akan diulas secara singkat tentang permasalahan umum yang dihadapi dalam pembinaan karakter bangsa.

C.    Permasalahan Umum dalam Pembinaan Karakter Bangsa
Sebagaimana telah disinggung pada paragraf di atas, bahwasanya pencapaian daya saing yang adaptif menuntut adanya pembelajaran yang terus menerus dan pembentukan mental model sebagai kelanjutan dari internalisasi pembelajaran yang dilakukan. Adapun esensi yang paling utama untuk dapat mewujudkan hal tersebut dalam konteks yang praktis adalah adanya perubahan (changes) baik bagi individu maupun kelompok/kumpulan masyarakat atau seluruh bangsa ini pada umumnya.
Umumnya tanpa adanya fitur adaptifitas ini, maka daya saing akan bersifat kaku dan statis, dan daya saing yang demikian pada akhirnya hanya akan menjadi kebanggaan historika masa lampau serta tidak memiliki esensi sama sekali di era masa depan yang menuntut adanya bentuk daya saing yang baru. Gejala ini pun tampaknya dapat dirasakan di kalangan masyarakat kita, meskipun hal ini juga menggejala di negara-negara lain, yang cenderung mengisolasi artikulasi daya saing dalam pemahaman yang bersifat konstan dari perspektif historis perjalanan bangsa tersebut.
Barangkali satu contoh menarik yang dapat dijadikan pelajaran dalam konteks ini adalah perjalanan hidup bangsa Korea (Selatan). Bangsa ini, kalau berdasarkan perspektif historis, tidak atau belum pernah masuk kategori bangsa yang dominan di wilayah regionalnya. Sejarah mencatat bahwa Korea umumnya selalu di bawah bayang-bayang dua negara tetangganya yang sangat kuat, yakni Kekaisaran Jepang di Selatan dan (dahulu Kekaisaran) Cina di Timur.  Namun melalui suatu proses internalisasi pengetahuan yang berjalan secara konsisten dan terutama dengan adanya semangat untuk melakukan perubahan secara signifikan, Korea (khususnya Selatan) saat ini telah tumbuh menjadi kekuatan yang paling diperhitungkan di kancah regional Asia Timur bahkan dunia. Pakar reformasi Korea Selatan, Linsu Kim (2002) pernah mengatakan bahwa pembelajaran secara kontinyu atau continuous learning tidak akan memberikan pengaruh apa-apa, tanpa disertai adanya kemampuan untuk berubah atau ability to change. Bahkan menurutnya, proses pembelajaran barulah menemukan maknanya setelah terjadinya proses perubahan pasca proses pembelajaran tersebut, khususnya dalam konteks pola pikir, pola sikap dan perilaku.
Rantai nilai pembelajaran yang terdiri dari elemen peningkatan kapasitas pengetahuan, internalisasi pengetahuan dan selanjutnya kesanggupan untuk melakukan perubahan tampaknya masih belum dapat diimplementasikan secara lengkap di umumnya kalangan masyarakat kita. Gambaran umum yang terjadi adalah kemampuan kita, tampaknya baru sebatas pada dua elemen yang pertama yakni peningkatan kapasitas pengetahuan dan internalisasi pengetahuan. Sedangkan elemen yang ketiga tampaknya masih diaplikasikan dalam dimensi yang sangat terbatas, sehingga tidaklah terlalu mengherankan kalau kita mendengar atau mengetahui bahwasanya sudah terlalu banyak contoh dan kasus dimana segenap idea, pemikiran dan konsepsi-konsepsi yang telah dirumuskan dan dirancang dengan baik, bahkan melibatkan banyak orang yang pakar di bidangnya masing-masing pada akhirnya hanya menjadi sebatas tata wacana atau kumpulan buku-buku dan referensi tanpa adanya upaya kongkrit untuk menginternalisasikannya dan untuk selanjutnya menjadi landasan dalam proses perubahan sikap maupun perilaku, baik bagi individu maupun masyarakat dan bangsa.
Dari kenyataan ini maka dapat dideduksi bahwa permasalahan umum dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah mencakup upaya-upaya untuk mencapai suatu proses internalisasi pengetahuan yang kemudian dapat berlanjut sampai dengan terjadinya suatu pergantian atau changes tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka agenda terpenting dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah menyangkut adanya reformasi kolektif dari segenap komponen bangsa ini untuk sanggup melakukan pergantian atau changes setelah menjalani setiap proses pembelajaran.
Karena sifatnya yang kolektif, maka tentunya hal tersebut tidak mungkin menjadi tugas atau kewajiban dari pemerintah saja, akan tetapi juga menyangkut tugas dan kewajiban dari seluruh masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah, yang dalam hal ini tentunya lebih banyak dari kompartemen pendidikan dan komunikasi harus sanggup memberikan fasilitasi yang paling ideal dalam mengakselerasi proses pemahaman kolektif, bahwasanya perubahan atau changes dari setiap adanya peningkatan kapasitas pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran apapun juga adalah hal yang sama pentingnya, atau bahkan dalam beberapa hal lebih penting, dibandingkan dengan aktifitas peningkatan kapasitas pengetahuan itu sendiri.
Pada paragraf berikut akan diulas secara tentang potensi bangsa yang seharusnya dapat dijadikan sebagai unsur penting untuk membangun kemandirian bangsa.

D.    Unsur Pokok Pembangun Kemandirian Bangsa
“The core of any army is its soldiers, no matter how sophisticated its equipment, its performance is solely dependent on its soldiers”. Douglas MacArthur, General, US Army, 1945 Penggalan kalimat di atas diambil dari ungkapan salah seorang komandan militer yang cukup terkenal, yaitu Jendral Mac. Arthur. Seorang Jendral AS yang pernah menjadi panglima mandala Pasukan Sekutu di Pasifik pada era Perang Dunia ke-2 (1941-1945) dan selanjutnya menjadi panglima mandala Pasukan Gabungan PBB semasa Perang Korea (1951-1955). Penggalan kalimat di atas cukup menarik, karena memberikan esensi pada peran sumber daya manusia sebagai unsur yang paling kritis dalam setiap proses pengembangan suatu entitas tertentu (dalam kasus di atas tentunya entitas militer yakni Angkatan Bersenjata). Namun demikian hal di atas berlaku pada hampir seluruh aspek, mulai dari organisasi yang sangat kecil seperti klub olahraga ringan sampai dengan sebuah negara.
Sebenarnya apa yang diungkapkan oleh Jend. Mac. Arthur di atas bukanlah hal yang baru. Lebih dari seabad sebelumnya (1815), kaisar Perancis yang juga Jendral besar dari Eropa, Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, Une arm marche son estomac atau Angkatan Bersenjata berjalan dengan perutnya. Meskipun oleh banyak pihak penggalan kalimat ini diartikan dalam konteks pentingnya unsur logistik dalam suatu operasi militer, akan tetapi sejatinya penggalan kalimat ini ikut menekankan bahwa faktor prajurit (atau esensinya adalah faktor manusia) merupakan komponen terpenting dalam setiap proses atau rantai nilai apapun juga. Meskipun sumber daya manusia merupakan suatu hal yang sangat krusial, namun terkadang kalau sudah berbicara mengenai hal ini banyak kalangan masyarakat yang menganggapnya sebagai hal yang terlalu normatif. Beberapa di antaranya malah menganggap bahwa pada jaman pemerintahan sebelumnya pernah ada masa dimana hampir setiap pejabat negara menekankan tentang pentingnya SDM namun pada akhirnya refleksi kemajuan yang dicapai juga tidak sebesar sebagaimana yang diharapkan.
Terlepas dari semua hal tersebut, tetap sumber daya manusia adalah potensi bangsa yang paling strategis yang harus dimobilisir dan dikembangkan. Bahkan Ralph S. Larsen (2004), CEO dari Johnson & Johnson, pernah mengatakan bahwa, tingkat kedewasaan suatu organisasi ditentukan dari persepsinya terhadap sumber daya manusia yang dimilikinya. Tataran tertinggi adalah ketika organisasi yang bersangkutan telah sanggup menganggap bahwa sumber daya manusia adalah aset dan bahkan aset yang paling menentukan dari kelangsungan hidup organisasi tersebut. Sebaliknya, tataran terendah adalah ketika organisasi masih menganggap bahwa sumber daya manusia tidak lebih dari komponen bahan baku yang menjadi obyek untuk dieksploitasi begitu saja.
Permasalahan utama tentunya adalah mendorong agar pengembangan sumber daya manusia ini sanggup menghantarkan suatu bangsa mencapai tingkat kemandirian yang berkesinambungan. Dan sebagaimana telah disinggung pada paragraf sebelumnya, era globalisasi menuntut adanya parameter daya saing sebagai satu satunya hal yang penting untuk menjamin suatu kemandirian, lebih lanjut, pembinaan karakter yang menuju pada mentalitas daya saing sendiri menuntut adanya sejumlah prasyarat pokok yang harus dijadikan acuan dalam setiap proses, atau yang lazim dikenal dengan rantai nilai.
Sejalan dengan hal tersebut, maka unsur pokok pembangun kemandirian bangsa terfokus pada tiga aspek penting yaitu:
1.      Peran kritis sumber daya manusia sebagai sumber daya yang terus terbarukan,
2.      Peningkatan daya saing dari sumber daya manusia tersebut, sebagai jaminan untuk adanya kemandirian bangsa yang berkesinambungan,
3.      Pemahaman bahwasanya mencetak mentalitas daya saing membutuhkan suatu rantai nilai dengan tatanan dan urutan tertentu. Serta keberhasilannyapun tergantung dari sampai sejauh mana tingkat pemenuhan kriteria dan persyaratan tersebut.
Ketiga aspek penting di atas perlu mendapatkan suatu pelaksana atau agen yang akan mengimplementasikannya di lapangan dalam suatu rangkaian tindakan nyata. Dan agen tersebut tentunya adalah generasi muda yang dimiliki oleh bangsa, karena dalam keadaan dimana mereka umumnya adalah masih berusia produktif maka diharapkan mereka dapat memiliki kemampuan tanggap khususnya dalam mengakselerasi proses internalisasi pengetahuan dan yang terutama adalah menjadi motor penggerak perubahan atau generator of change. Tanpa adanya hal tersebut, maka selamanya rantai nilai dari proses pembangunan karakter dalam bentuk apapun tidak akan pernah bergeser dari tata wacana dan selamanya bangsa ini akan terus berhadapan dengan berbagai masalah dan apabila bangsa ini lambat dalam bereaksi maka akan berpotensi untuk semakin rendahnya daya saing bangsa di jangka panjang serta semakin menurunnya daya adaptifitas bangsa dalam mensikapi dinamika perkembangan global dan pada akhirnya akan menjadikan bangsa ini sulit untuk dapat mencapai tatanan kehidupan yang bermartabat.

E.     Nilai-Nilai dalam Olahraga
Seperti disebutkan di atas ada beberapa nilai dalam olahraga yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan kebangsaan. Nilai-nilai itu adalah:
1.      Persatuan. Nilai persatuan merupakan nilai yang mutlak dalam olahraga. Pengertian persatuan bukan hanya dalam olahraga yang bersifat kelompok saja tetapi juga individual. Persatuan wujud dalam bentuk keterikatan yang kuat di antara sesama pemain, pelatih, pengurus dan juga pendukungnya. Tanpa ditunjang adanya persatuan mustahil suatu individu atau tim dapat melakukan atau bahkan memenangkan pertandingan dengan baik.
2.      Kerjasama dan kekompakan. Aspek kerjasama sangat penting dalam sebuah olahraga, terutama olahraga yang dilakukan secara berkelompok. Kerjasama dan kekompakan mutlak dilakukan jika sebuah tim menginginkan kemenangan dalam suatu permainan. Bagaimanapun tingginya skill individual yang dimiliki para pemain serta bagusnya pelatih maupun official yang ada, jika tidak dibarengi dengan kerjasama yang kuat maka akan sia-sia saja. Kerjasama dalam hal ini bukan hanya intern di antara para atlet saja tetapi semua pihak yang bertanggungjawab terhadap tim, termasuk pelatih dan seluruh official di dalamnya.
3.      Persahabatan. Meskipun dalam sebuah kompetisi antar kelompok masing-masing tim saling berhadapan, bersaing secara sengit dan berusaha mengalahkan satu sama lain, namun begitu permainan usai atau di luar acara permainan, masing-masing individu atau kelompok tetap harus menganggap lawannya sebagai sahabat. Jangan sampai beberapa insiden yang terjadi di dalam pertandingan dibawa-bawa keluar, yang justru memperuncing masalah. Para pemain sepatutnya dapat memilah-milah antara urusan pribadi dengan urusan kemanusiaan. Ketika bermain, setiap atlet dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin dapat mengalahkan lawannya, berjuang sekuat-kuatnya. Namun ketika pertandingan selesai, terlepas kalah atau menang setiap atlek tetap harus memperlakukan lawannya secara terhormat dan manusiawi, sehingga tidak boleh menghina atau merendahkannya.
4.      Penghargaan atau saling menghormati atau persamaan. Penghormatan di antara masing-masing individu maupun tim dalam olahraga menunjukkan adanya penghargaan serta ketulusan satu sama lain yang sudah menjadi kewajiban bersama. Meskipun di antara mereka terdapat berbagai perbedaan, mulai dari latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya, geografis, dan lain-lain, namun tetap harus dipandang sama dan dihormati sebagaimana layaknya.
5.      Sportifitas. Aspek sportifitas merupakan salah satu segi yang sangat penting dalam dunia olahraga. Dengan sportifitas dimaksudkan bahwa individu atau kelompok bersikap kesatria, gentle, dan jujur dalam permainan. Dalam pengertian ini pemain berlaku fair dan terbuka, tidak melakukan kecurangan maupun tipudaya tertentu terhadap lawan-lawannya. Sportifitas lebih menunjukkan adanya sikap tanggung jawab seorang atlet. Sikap sportif yang menjunjung tinggi kejujuran menjadi tolok ukur, sekaligus asas kompetisi yang sehat dan bermutu. Sportifitas lebih menunjukkan adanya sikap tanggungjawab seorang atlet.
6.      Fairness. Ditandai dengan sikap obyektif yang terbuka dan tidak memihak. Dalam olahraga, sikap fairness atau fair play mengacu pada permainan yang bersih, tidak curang atau dikotori tipu muslihat, baik yang berasal dari para atlet sendiri maupun wasit dalam pertandingan. Karena itu, mutu dari suatu olahraga dapat dikatakan baik kalau dilakukan secara fair, di mana semua pihak melakukannya dengan cara-cara yang jujur dan adil.
7.      Ketekunan dan kerja keras. Hal ini terlihat bagaimana para atlet dan seluruh tim sejak awal, dalam jangka waktu tertentu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun secara rutin berlatih menempa diri, mempersiapkan pertandingan yang dihadapi.Sampai pada gilirannya mereka membuktikan kemampuannya, yang berakhir dengan kekalahan maupun kemenangan. Cerminan dari kerja keras dan ketekunan tersebut benar-benar ada ketika mereka menjalani proses demi proses yang melelahkan. Proses ini jelas membutuhkan kesabaran dalam menahan diri, maupun keseriusan dalam berlatih. Ini merupakan bagian dari perjuangan.
8.      Solidaritas. Solidaritas mencerminkan sikap kebersamaan, berbagi perasaan satu sama lain baik senang maupun susah atas sesuatu obyek masalah atau kejadian. Dalam olahraga, nilai solidaritas perlu ditanamkan secara kuat, baik dalam lingkup internal tim maupun antar tim dengan pendukungnya. Kuatnya solidaritas menunjukkan adanya keterikatan emosional di antara mereka, sekaligus menjadi sumber pendorong semangat yang membangun. Karena itu, solidaritas perlu diarahkan ke tujuan-tujuan yang positif.
9.      Tanggungjawab. Aspek tanggungjawab berkaitan dengan kewajiban individu atau kelompok atas tugas-tugasnya. Rasa tanggungjawab, mencerminkan sikap amanah dan berani mengambil prakarsa ataupun resiko atas setiap tugas yang diemban, baik yang berakhir dengan keberhasilan maupun kegagalan. Sikap tanggung jawab adalah bagian dari mentalitas positif yang selayaknya dimiliki setiap individu. Rasa tanggungjawab merupakan lawan dari sikap pengecut dan sikap lepas tangan yang terdapat pada kebanyakan orang. Dalam bidang olahraga kurangnya rasa tanggungjawab, yang ditandai dengan saling lempar kesalahan, seringkali melemahkan sebuah tim dan bahkan dapat menghancurkannya.
10.  Keberanian. Nilai keberanian menunjukkan rasa percaya diri untuk bertindak melakukan sesuatu. Sikap ini dilandasi keyakinan akan kemampuan diri, dalam berkompetisi dengan pihak lawan. Karena salah satu unsur kegiatan olahraga adalah adanya kompetisi, maka seorang atlet harus selalu siap untuk maju bertanding memperagakan kemampuannya. Keberanian dalam kaitan ini bukan jenis keberanian yang tanpa perhitungan, namun keberanian yang diperhitungkan dengan cermat. Seorang atlet tidak boleh menghindari kenyataan bahwa keunggulan mereka hanya bisa dinilai setelah melalui proses kompetisi yang fair.
11.   Integritas. Nilai integritas menunjukkan ciri-ciri yang merangkumi sifat-sifat unggul dalam diri individu atau kelompok secara keseluruhan. Nilai integritas ini, sama dengan nilai-nilai yang disebutkan sebelumnya di atas, yang selayaknya ditegakkan semua insan olahraga yang terkait, mulai dari atlet, wasit, pelatih, pengurus, maupun pendukungnya. Integritas tidaklah semata-mata monopoli milik pemain saja, tetapi juga unsur-unsur lainnya. Dalam bidang olahraga integritas ditunjukkan dengan sikap maupun perilaku positif yang mencerminkan segi-segi kebaikan. Karena itu, sekali lagi integritas lebih bermakna penghayatan dan penerapan nilai-nilai baik secara totalitas.
Beberapa nilai yang dijelaskan di atas, sesungguhnya tidak berdiri sendiri, melainkan terkait satu sama lain. Nilai-nilai yang satu memiliki sifat komplementer terhadap yang lain, yang dalam prakteknya saling menunjang. Terlepas dari adanya beberapa kekurangan di sana sini, dalam bidang keolahragaan kita dewasa ini, namun hal tersebut tidak mereduksi pentingnya kandungan nilai-nilai luhur itu sebagai sumber inspirasi untuk ditransformasikan dalam kehidupan kebangsaan. Meskipun bidang keolahragaan hanyalah bagian kecil dari subsistem kehidupan kita, namun eloklah kiranya jika nilai-nilai itu, secara luas dapat diterapkan sebagai model.

F.     Implementasi Nilai-Nilai Olahraga Dalam Memperkokoh NKRI
Setelah menjelaskan nilai-nilai di atas dapat diketahui bahwa ada banyak nilai dalam bidang olahraga yang sejajar dengan kebutuhan kita dalam memperkuat kehidupan bangsa. Secara luas dapat dikatakan bahwa nilai-nilai tersebut dapat menjadi platform dalam mengembangkan tatanan bangsa yang kini menghadapi tantangan besar. Sebagaimana diketahui, seiring dengan kemajuan jaman yang ditandai pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah terjadi pergeseran-pergeseran penting di berbagai bidang. Dalam skala yang luas terjadi transformasi dalam kehidupan politik, ekonomi maupun budaya, yang diikuti dengan munculnya aspirasi-aspirasi dan tuntutan-tuntutan baru di masyarakat. Tuntutan itu berupa keinginan yang kuat akan perbaikan kondisi kehidupan ekonomi yang lebih sejahtera, politik yang lebih terbuka, dan budaya yang reseptif terhadap nilai-nilai kemajuan.
Terdapat berbagai kecenderungan baru yang bersifat kontradiktif yang tidak dapat dibendung sebagai hasil pemikiran dan interaksi antar budaya yang berlangsung secara intensif. Pada satu sisi, kita menyaksikan munculnya globalisasi yang mengarah pada penyatuan identitas manusia sejagad, yang disertai dengan menguatnya penetrasi sistem, modal, barang dan nilai-nilai budaya asing khususnya Barat ke seluruh ceruk kehidupan. Sementara pada sisi lain berlangsung proses penguatan nilai-nilai dan identitas baru di tengah masyarakat dalam bentuk munculnya reaksi-reaksi lokal yang ingin tetap eksis di tengah serbuan budaya baru. Gejala-gejala ini memberikan efek bermata dua. Pada satu segi dapat menghasilkan kemajuan, sementara pada segi lain dapat menghancurkan. Sulit kiranya bagi kita untuk menghindari proses ini, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menghadapinya dengan sikap waspada dan selektif.
Perkembangan-perkembangan di atas, membawa dampak besar bagi bangsa Indonesia. Berbarengan dengan terjadinya transformasi politik dari sistem otoritarian Orde Baru menuju sistem demokrasi di bawah Orde Reformasi kita menyaksikan serangkaian fenomena pahit yang mengoyak sendi-sendi kehidupan bangsa dan bahkan menjurus pada ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beberapa kejadian itu seperti: Munculnya kekerasan dan konflik-konflik horisontal di masyarakat, merebaknya tuntutan otonomi, munculnya gerakan separatis di beberapa daerah, terjadinya krisis pangan dan energi, munculnya bencana alam dan kecelakaan di mana-mana secara beruntun, meningkatnya korupsi, lemahnya pemerintahan dan lain-lain.
Rangkaian kejadian tersebut secara nyata telah melemahkan kedudukan bangsa Indonesia dan nyaris menenggelamkan dalam kubangan sejarah. Salah satu penyebab dasar dari hal-hal tersebut adalah masih tipisnya rasa kebangsaan, lemahnya rasa persatuan, kurangnya rasa persamaan, perjuangan, solidaritas dan kekompakan, rasa tanggung jawab, persaudaraan, serta integritas yang selama ini kita miliki, yang akar-akarnya dapat kita telusuri lebih jauh pada lemahnya mentalitas dan ethos kita sebagai bangsa. Sebagai jawabannya bangsa Indonesia harus bekerja lebih keras lagi, memecahkan berbagai problem yang dihadapi secara simultan dan sinergis dengan cara-cara yang berkesan. Simultan dalam artian memecahkan seluruh masalah secara serentak. Sementara secara sinergis berarti memecahkannya secara terpadu atau terintegrasi dengan bidang-bidang lain.
Salah satu usaha yang perlu dilakukan adalah melalui sumber “nilai”, berupa reaktualisasi kembali nilai-nilai luhur bangsa dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini, secara khusus kita dapat mengambil dan mentransformasikan atau mentransmisikan nilai-nilai yang selama ini berlaku dalam bidang olahraga. Sebagaimana dijelaskan di atas, nilai-nilai yang terkandung dalam bidang olahraga amat bersesuaian dengan nilai-nilai kebangsaan. Karena bidang olahraga yang merupakan representasi dari dunia atau lingkungan yang lebih besar di sekitarnya, maka sangat tepat jika dikatakan bahwa nilai-nilai dalam olahraga dapat ditransmisikan dalam kehidupan kebangsaan.
Dengan mengambil nilai persatuan, kita dapat mewujudkan keterikatan yang kuat dengan berbagai komponen bangsa yang lain. Rasa persatuan perlu terus dipupuk dan dikembangkan, sebab dengan adanya persatuan segala persoalan bangsa lebih mudah dihadapi secara bersama. Akan tetapi sebaliknya, jika kita tidak mampu menjaga persatuan maka otomatis akan kehilangan kekuatan. Apa yang terjadi jika masing-masing unsur bangsa ini lepas sendiri-sendiri, terpecah belah mengikuti keinginan dan hasrat masing-masing. Sudah barang tentu mereka akan lemah dan mudah dikuasai. Belakangan, sangat dirasakan bagaimana hilangnya rasa persatuan ini menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan kepercayaan dan jati diri. Ibarat orang bermain olahraga, kehidupan bangsa adalah mirip satu tim yang perlu dibina dengan kokoh berhadapan dengan bangsa lain.
Dalam bidang olahraga, kita bisa mengambil rasa kesatuan ini dalam bentuk solidaritas yang kita berikan, ketika misalnya, Tim Nasional (Timnas) olahraga Indonesia bermain dengan negara lain. Ada perasaan atau keterikatan emosional yang intrinsik, yang sama dan mendalam di antara kita untuk memberikan dukungan agar Timnas kita menang dalam pertandingan. Sebagai contoh, bagaimana perasaan kita secara otomatis bersatu, atau “berbagi nilai” dan “identitas”, ketika timnas bulutangkis atau sepakbola berhadapan dengan Malaysia. Bagaimana pula perasaan kita, ketika petinju Ellyas Pical menghadapi lawan-lawannya?. Tentu kita bersatu, menginginkan kemenangan itu. Nilai-nilai inilah kiranya dapat ditanamkan dan ditransformasikan dalam kehidupan kebangsaan.
Terkait dengan dimensi persatuan adalah kerjasama dan kekompakan. Tinggi rendahnya derajat persatuan akan sangat berpengaruh terhadap kerjasama dan kekompakan. Sesuatu bangsa tidak mungkin dapat menjalankan kerjasama dan bersifat kompak kalau tidak ada landasan persatuan. Jadi persatuan merupakan titik tolak utama yang menentukan corak kerjasama di antara anggota masyarakat. Salah satu kelemahan kita dewasa ini adalah makin berkurangnya sifat kerjasama atau gotong royong ini. Terjadinya pergeseran norma-norma dalam masyarakat akibat kemajuan-kemajuan material yang berlangsung, menjadikan anggota masyarakat kini cenderung lebih mementingkan dirinya sendiri.
Sikap individualistik telah menjadi ciri menonjol dalam kehidupan bangsa Indonesia, dan menggerogoti segenap dimensi kehidupan. Segalanya diukur dengan takaran materi. Kenyataan tersebut bukan hanya terjadi di lingkungan kota-kota besar saja, tetapi untuk sebagian, sudah menyusup dalam lingkungan pedesaan yang dulu dikenal dengan sikap tolong menolong dan toleransinya atau kepeduliannya yang tinggi. Tekanan hidup sehari-hari yang berat menyebabkan orang berpikir masa bodoh dan cenderung mengabaikan akal sehatnya. Aspek kerjasama dan kekompakan ini selayaknya ditunjukkan oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya antara kelompok saja, tetapi juga antara seluruh komponen bangsa Indonesia dengan latar belakang yang berbeda. Kerjasama dan kekompakan tidak dapat dilakukan secara segmental saja, antar elite dengan elite saja, atau masyarakat dengan masyarakat saja, tetapi antar elite dengan massa yang terintegrasi dengan baik. Aspek ini juga mencakup nilai persahabatan. Seperti kita lihat, dibalik merosotnya semangat kerjasama ini adalah mulai pudarnya semangat persahabatan, atau dalam bahasa sosial, “kesetiakawanan”. Karena itu perlunya kita menggemakan kembali gagasan “kesetiawanan sosial nasional” yang telah redup.
Dalam bentuknya yang kongkrit, kesetiakawanan merupakan bagian dari sikap solidaritas, yakni adanya perasaan senasib dan sepenanggungan, di mana-mana masing-masing anak bangsa merupakan bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain. Sikap ini mencerminkan rasa kebersamaan yang secara emosional melekat dalam diri setiap individu. Mereka adalah satu anggota keluarga besar bangsa Indonesia, yang harus memperoleh perlakuan yang sama dan berhak menikmati hasil-hasil pembangunan yang berkeadilan, tidak didiskriminasi, dan berada pada posisi sederajat. Pengabaian atas hal tersebut sama artinya dengan melenyapkan dimensi kemanusiaan yang paling hakiki, yang menjadi bagian penting dari apa yang disebut sebagai hak asasi manusia.
Perwujudan akan sikap solidaritas di atas akan mendorong terwujudnya persahabatan, di mana masing-masing anggota masyarakat saling menyayangi, sebagaimana seorang sahabatnya. Kendati mereka memiliki posisi dan peranan, latar belakang agama, etnis, golongan, bahkan pendirian dan aliran politik yang berbeda, namun dalam kehidupan bermasyarakat tetap harus diperlakukan secara manusiawi sebagai sahabat. Jangan sampai berbagai perbedaan yang ada menyebabkan masing-masing individu menganggapnya sebagai permusuhan. Dalam kehidupan, secara alamiah konflik akan tetap ada dan bahkan pada tahap tertentu merupakan keharusan bagi dinamika masyakat. Hanya saja, jangan sampai menjadi sumber perpecahan dan permusuhan.
Karena itu, kita wajib menghargai dan menghormati berbagai pandangan dan pendirian orang lain. Apalagi jika pandangan tersebut sangat konstruktif dan baik, yang dapat menjadi jalan keluar dalam menghadapi persoalan. Dalam konteks ini, diperlukan suatu toleransi yang besar dan sikap lapang dada agar kita terbiasa dengan perbedaan-perbedaan. Dengan kata lain, kita dituntut untuk berlaku sportif dan terbuka. Sentimen-sentimen individual yang tidak berdasar, atau adanya perbedaan yang tidak prinsipil tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak atau mengabaikan pandangan orang lain. Harus dipahami bahwa perbedaan-perbedaan antar individu terjadi karena masing-masing kita memiliki pengalaman hidup yang berbeda. Sikap sportif menunjukkan kebesaran jiwa, sekaligus kejujuran individu atas berbagai keterbatasannya.
Salah satu contoh nilai solidaritas dalam bidang olahraga adalah seperti yang ditunjukkan dalam kejadian beberapa waktu yang lalu di mana salah seorang wasit karateka Indonesia dianiaya di Malaysia.
Masyarakat secara spontan mengecam tindakan tersebut dan menuntut pemerintah Malaysia memohon maaf. Gelombang protes yang bertubi-tubi dan kecaman luas masyarakat menunjukkan tingginya tingkat solidaritas yang ada. Isu pemukulan wasit, untuk seketika, menyatukan sikap seluruh masyarakat bahkan menenggelamkan isu-isu domestik utama lain yang muncul. Inilah wujud solidaritas organik yang perlu dikembangkan pada tataran nasional.
Bisakah kita mentransformasikan sikap itu dalam bentuk yang nyata, ketika ada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dianiaya atau mati di luar negeri, melawan koruptor, eksploitasi asing, penyelundupan dan lain-lain? Sikap solidaritas, amat berkaitan erat dengan sikap fairness, yang menjunjung tinggi obyektifitas. Berlakunya nilai fairness, menunjukkan adanya kejujuran yang merujuk pada kesediaan untuk berlaku tidak memihak dan apa adanya.
Selanjutnya, nilai ketekunan dan kerja keras dapat diimplementasikan dengan kerja yang tidak kenal lelah, mengisi pembangunan. Masing-masing individu, dengan segala kemampuan yang dimilikinya patut berusaha kuat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Kerja keras dalam hal ini juga diikuti dengan kesediaan untuk berkorban, tanpa pamrih. Pencapaian tujuan negara tidak bisa dilakukan oleh para pemimpin saja tetapi juga menjadi kewajiban seluruh warga negara. Karena sasaran yang dicapai bukan jangka pendek, tetapi jangka panjang, maka tidak harus selalu puas dan terbuai dengan prestasi-prestasi yang sesaat. Tentu saja hal ini merupakan jalan panjang yang penuh tantangan, yang harus dihadapi dengan kesabaran, dalam artian sabar menghadapi proses.
Dalam kaitan ini, setiap warganegara perlu memiliki keberanian, terutama para pemimpinannya untuk mengambil langkah-langkah positif dalam memperbaiki keadaan. Salah satunya adalah berani mengambil resiko dengan melakukan langkah-langkah terobosan dalam memajukan bangsa. Karena besarnya akumulasi masalah yang kita hadapi dari waktu ke waktu, maka pada tahap tertentu langkah terobosan perlu dilakukan, dan itu memerlukan keberanian. Dewasa ini cara pemecahan pembangunan melalui pendekatan konvensional tidak lagi relevan karena menjauhkan rakyat dari partisipasi pemecahan masalah secara kongkrit. Kita memerlukan suasana bagi tumbuhnya inisiatif-inisiatif yang berani dan menantang untuk maju.
Namun di atas segalanya, perlu adanya rasa tanggungjawab di antara anggota masyarakat, khususnya para pemimpin bangsa. Rasa tanggungjawab merupakan bentuk nilai positif yang perlu dijunjung tinggi oleh individu manapun dalam lingkup kehidupan yang kecil maupun besar. Karena pada hakikatnya, di semua segi kehidupan pada tingkat apapun, atau sekecil apapun, semua pekerjaan memerlukan adanya tanggungjawab. Perbedaannya hanya terletak pada bidang dan besaran tanggungjawab yang dipikul masing-masing individu. Sikap ini bertentangan dengan mentalitas pengecut atau lepas tangan yang menjadi anutan sebagian orang. Pemimpin yang sejati adalah yang berani bertanggung jawab, menanggung resiko dan akibat dari perbuatannya. Pada kenyataannya banyak orang yang berani memimpin tetapi tidak berani bertanggungjawab.
Setiap individu selayaknya menunjukkan kapasitasnya dengan menghayati dan menerapkan nilai-nilai di atas. Kemampuan di dalam menerapkan nilai-nilai tersebut, secara otomatis akan mempengaruhi terbentuknya integritas individu yang dapat diandalkan, yang dibutuhkan untuk membangun bangsa. Dengan demikian, integritas merupakan refleksi dari keseluruhan atau totalitas sikap-sikap baik dan unggul yang kita miliki. Dalam kapasitas sebagai anggota masyarakat, kita dituntut untuk memberikan apa yang terbaik dalam diri kita untuk kepentingan orang banyak. Hal ini merupakan moral imperative yang tidak bisa diabaikan mengingat kita hidup dan berinteraksi sosial dalam masyarakat.
Barangkali, implementasi nilai-nilai di atas, patut diterapkan di tengah-tengah masyarakat, khususnya para pemimpin bangsa pada semua tingkatan. Hal tersebut sangat penting dilakukan, karena hakikat masyarakat kita yang masih paternalistik, yang berorientasi ke atas, lebih banyak melihat cara bertindak para pemimpin sebagai acuannya. Usaha-usaha untuk memperkokoh kesatuan NKRI akan sangat sulit dilakukan tanpa adanya nilai-nilai dasar yang menjadi sumber inspirasi dan bukti kongkrit tindakan para pemimpin bangsa. Di tengah arus perubahan global dewasa ini dengan berbagai pengaruh yang tidak bisa dibendung, maka tidak ada pilihan lain bagi setiap bangsa untuk memperkuat jati dirinya kecuali dengan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai hidupnya sebagai perekat bersama.
Bidang olahraga, memberikan contoh yang sangat sederhana, baik dan praktis untuk ditiru. Akan tetapi, malangnya hanya sedikit saja di antara anak-anak bangsa yang secara sungguh-sungguh dan tulus mau melakukannya. Fenomena yang sekarang mengemuka justru sebaliknya. Konflik-konflik dalam masyarakat terus berlangsung, baik di tingkat bawah maupun atas. Pada tataran massa, terlihat rapuhnya ikatan sosial, pudarnya nilai-nilai solidaritas, dan pada tahap yang paling menyedihkan adalah mudahnya mereka terpancing isu-isu liar yang meresahkan. Keadaan tersebut terjadi di samping karena rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar warga, juga tekanan hidup sehari-hari atau ekonomi yang semakin berat. Banyak di antara mereka yang mengalami disorientasi dan kehilangan pegangan, sehingga terjebak dalam perbuatan-perbuatan yang berlawanan hukum. Akar permasalahan dari semua ini adalah pelaksanaan pembangunan yang tidak adil.
Sementara pada pihak lain, gejala serupa juga terjadi pada lapisan atas, khususnya di tingkat elite. Adanya perbedaan kepentingan dan hasrat yang tinggi dalam memperebutkan kekuasaan menjadikan mereka lupa kepada kepentingan rakyat, dan lebih banyak disibukkan agenda mereka sendiri. Kepentingan partai, kelompok, organisasi dan golongan terkadang lebih prioritas ketimbang yang lain. Karena itu tidaklah mengherankan jika konflik di tingkat elite berlangsung lebih keras, dan intens. Terlepas dari kenyataan pihak mana yang benar dan salah, kita melihat bagaimana kelompok-kelompok ini saling mengkritik dan berusaha menjatuhkan satu sama lain, baik melalui perang kata-kata di media massa, maupun pernyataan-pernyataan di depan publik, maupun tekanan massa di tingkat bawah.
Gejala tersebut, secara jelas menunjukkan bagaimana rendahnya etika sebagian elite pemimpin kita, sekaligus merefleksikan sejauh mana sikap persatuan, kesantunan, tanggungjawab, penghormatan, kerjasama, kekompakan, solidaritas, sportifitas, dan lain-lain seakan menjadi barang langka yang sukar ditemukan. Kritik yang seharusnya menjadi medium koreksi terhadap berbagai kebijakan yang melenceng, justru dimanipulasi untuk meningkatkan imej dan publisitas. Sementara masukan konstruktif seringkali dikesampingkan, karena dianggap bertentangan dengan kebijakan normal yang berlaku. Kenyataan ini sesungguhnya tidak perlu terjadi, jika mereka berpikiran positif dan lebih mengedepankan kepentingan umum.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, keserakahan makin nampak, korupsi tetap menggunung, angka putus sekolah tetap banyak, kemiskinan dan penderitaan rakyat meningkat, sejajar dengan terjadinya proses akumulasi dan manipulasi kekuasaan segelintir kelompok yang tidak dapat dibendung. Pada dasarnya, hal itu terjadi karena sempitnya cara pandang bangsa ini, dan rendahnya moralitas sebagian para pemimpinnya. Munculnya budaya hedonis dan instant, menyebabkan sebagian diantaranya terdorong berpikir pragmatis dan dangkal, yang secara perlahan bakal menggerogoti seluruh elemen masyarakat. Alih-alih kita menuju masa depan yang cemerlang, namun sesungguhnya meniti jalan balik ke terowong gelap masa silam. Sehingga bukannya peningkatan semua potensi masyarakat, melainkan justru akan memberikan pengalaman yang menyedihkan bagi generasi mendatang.


BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai olahraga sesungguhnya memiliki dimensi positif yang sangat bermanfaat yang dapat diterapkan dalam usaha memperkokoh keutuhan bangsa. Dalam banyak hal nilai-nilai yang terkandung dalam bidang olahraga secara subtansial memiliki kesejajaran dengan usaha-usaha pengembangan bangsa. Ada banyak segi positif yang dapat diambil dan ditranformasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun terdapat perbedaan tataran antara bidang keolahragaan dan segi kebangsaan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kedua bidang tersebut memiliki kedudukan yang saling menunjang.
Sebagai sesuatu yang bersifat normatif, nilai-nilai tersebut tentu saja merupakan “modal sosial” yang memerlukan manipulasi kreatif, penjabaran, serta bentuk penerapan yang lebih kongkrit. Usaha semacam itu sangat diperlukan, mengingat munculnya berbagai tantangan dewasa ini yang dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan bangsa. Di tengah kehidupan moderen yang berubah dengan cepat, yang ditandai dengan munculnya pergeseran nilai-nilai baru dan arus kehidupan yang makin mengglobal yang cenderung meminggirkan identitas-identitas setempat, maka tidak salah kiranya jika mengambil kembali segi-segi terbaik, dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat, untuk dijadikan panduan dalam kehidupan bersama.

B.     Saran
Perlunya bangsa Indonesia mereaktualisasi nilai-nilai olahraga ke dalam kehidupan berbangsa yang diharapkan mampu memperkokoh keutuhan NKRI. Langkah ini merupakan salah satu bentuk kesadaran yang perlu ditampilkan agar kita tidak terjebak dalam arus utama kehidupan yang dengan cepat menggerogoti sendi-sendi persatuan. Kuatnya arus budaya material yang dibarengi dengan berkembangnya mentalitas individualis yang makin menonjol sekarang ini, secara mendasar telah memudarkan solidaritas dan ikatan-ikatan emosional, bahkan pada gilirannya mendangkalkan visi kita sebagai satu bangsa. Akhirnya, perlu dikemukakan bahwa penjelasan yang dikemukakan penulis barangkali hanyalah suatu langkah kecil, namun cukup berarti, dalam menyegarkan kembali visi kita dalam memperkokoh keutuhan NKRI.


DAFTAR PUSTAKA

Datuk Sri Dr. Mahathir Muhammad,pembinaan karakter bangsa, Malaysia, 2004
M. Hatta Rajasa, pembangunan karakter Bangsa, Mensekneg, 19 Juni 2007,Jakarta

M. Nuh, Pentingnya informasi dalam upaya membangun karakter dan meneguhkan jati diri bangsa Indonesia, DEPKOMINFO, 10 Agustus 2007, Jakarta

Ralph S. Larsen, CEO dari Johnson & Johnson, American, (2004)Syarifudin, nilai-nilai Olahraga dan Pembangunan Ketahanan Nasional, 7 April 2009, Jakarta

http://wengayo.blogspot.com/2010/06/penjasorkes-dalam-pembangunan-karakter.html