Sponsor

Tuesday 5 May 2015

PSIKOLOGI OLAHRAGA Burnout and Overtraining

BAB I
PENDAHULUAN
    A.            Latar Belakang
Semangat dan intensitas yang tinggi  telah meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar karena penghargaan finansial yang luar biasa, publisitas, dan status yang dicapai dengan pelatih yang sukses dan  atlet yang baik. Pemusatan latihan semacam pusdiklat atau akademi telah dikembangkan dibanyak olahraga misalnya; tenis, skating es, di mana anak muda bersekolah dan berlatih, biasanya jauh dari orang tua dengan harapan kemudian hari mendapatkan beasiswa kuliah, karir profesional, atau medali Olimpiade.
Teorinya adalah  proses latihan  lebih banyak lebih baik, yang harus memulai tahapan awal, dan kemudian dilakukan secara berkelanjutan  untuk bersaing di tingkat yang lebih tinggi. Overtraining dan kelelahan telah menjadi masalah yang berarti dalam dunia olahraga dan aktivitas fisik. Oleh karena itu pelatih perlu memahami penyebab kejenuhan dan mempelajari strategi untuk membantu mengurangi kemungkinan yang akan terjadinya kelelahan yang berlebihan. Periodesasi latihan adalah strategi menjaga eksistensi atlet untuk melakukan latihan volume, beban intensitas yang tinggi dilakukan dari yang rendah menuju tahapan yang lebih tinggi,(McCann, 1995).
     B.            Pembatasan Masalah
Dengan melihat latar belakang masalah maka penulis dan penyaji hanya membahas masalah mengenai pengembangan Burnout and Overtraining, dalam psikologis pelatih, atlet bahkan pejabat ( Manager ).
    C.            Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah, pembahasan yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini adalah:
                  1.  Apa yang dimaksud overtraining, gangguan kerja, dan kebosan?
                  2.  Bagaimana proses overtraining pada atlet?
                  3.  Apa yang menjadi dampak negatif dari overtraining?

    D.            Mamfaat penulisan
Mamfaat dari penulisan ini adalah mengharapkan apa yang ditulis dapat memberikan mamfaat khususnya bagi penulis dan penyaji agar dapat mengetahui apa pengertian dan dampak yang akan terjadi pada atlet, pelatih, dan manager, apabila dalam latihan terlalu berlebihan, memaksakan diri ( Overtraining ). Semoga dapat menjadi tambahan wawasan bagi penulis dan pembaca.

BAB II

PEMBAHASAN

    A.            Definisi overtraining, gangguan kerja dan kebosanan
Overtraining mengacu pada oftitiliting siklus pendek berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pelatihan Periodized adalah strategi untuk  mengekspos atlet untuk pelatihan volume tinggi dan beban tinggi intensitas yang diikuti oleh beban pelatihan yang lebih rendah, yang dikenal sebagai sisa atau tahap lancip (McCann, 1995). Tujuan dalam pelatihan periodized adalah untuk mengkondisikan atlet sehingga kinerja puncak pada tanggal tertentu atau dalam kerangka waktu tertentu, biasanya sebelum kompetisi besar atau kejuaraan untuk memunculkan atlet dalam proses latihan beban yang diberikan tidak lebih dari kapasitas maksimal.
Pada umumnya  dalam pelatihan fisik adalah proses untuk menambah beban latihan. Ini adalah bagian normal dari proses pelatihan fisik untuk atlet overload, Artinya, sesuai dengan prinsip-prinsip fisiologi olahraga, penambahan beban  atlet dengan meminta mereka mengalami volume pelatihan yang lebih tinggi misalnya; mereka berenang lebih dari normal atau mengangkat beban lebih dari normal. Setelah istirahat dan pemulihan, tubuh menyesuaikan dengan beban  dan menjadi lebih kuat atau fit, dan ini hasil perubahan dalam perbaikan kinerja.
Sayangnya, proses overload jauh dari sempurna dan sangat individualistis. Jadi jika volume pelatihan terlalu besar atau jika atlet dipengaruhi oleh kurangnya istirahat atau stres fisik atau psikologis lain maka  hasilnya kinerja akan memburuk. Ini sindrom overtraining negatif, maka didefinisikan sebagai berlebihan, kelebihan biasanya fisik pada atlet tanpa istirahat yang cukup, sehingga kinerja menurun dan ketidak mampuan untuk melatih pada tingkat normal (Komite Olimpiade AS, 1998). Oleh karena itu, proses overloading tubuh seseorang dapat mengakibatkan adaptasi positif dan peningkatan performa atau bisa juga membawa dampak negatif dan kinerja menurun.

Proses overtraining

(A)
Positife overtraining (peningkatan kinerja)
(B)
Pemeliharaan
Tidak
ada perubahan dalam kinerja
(C)
Staleness Gangguan kinerja



Dalam kotak A dijelaskan bahwa overtraining dapat membawa dampak positif yang akan meningkatkan kinerja, hal ini dikarenakan ketika pelaku mengalami overtraining secara optimal yang dilakukan oleh pelaku atau atlet adalah istirahat yang cukup menyesuaikan tubuh, sehingga menghasilkan overtraining positif dan kinerja meningkat.Sedangkan dalam kotak  B overtraining  tidak membawa perubahan yaitu tidak meningkatkan atau pun menurunkan kinerja. Pada  kotak (C)  jika permintaan overtraining  yang berlebihan dan tubuh tidak benar beradaptasi, overtraining negatif dan hasil kinerja yang buruk yang akan didapatkan.
Overtraining Negatif mengarah pertama pada staleness dan jika terus dari waktu ke waktu tanpa istirahat yang cukup dan pemulihan, untuk keadaan yang lebih parah kelelahan. Staleness adalah hasil akhir dari overtraining, suatu keadaan di mana atlet mengalami kesulitan mempertahankan standar peraturan pelatihan dan hasil kinerja. Burnout merupakan respon, physiological lebih lengkap penarikan dari pelatihan yang berlebihan dan tuntutan kompetitif.
Dengan demikian ada variabilitas yang substansial dalam latihan yang ditentukan untuk atlet, Selain itu, telah ditunjukkan bahwa atlet dari kapasitas yang sama merespon secara berbeda terhadap peraturan pelatihan standar. Beberapa melawan efek negatif dari pelatihan intensif, sedangkan yang lain cukup rentan. Dengan demikian, jadwal pelatihan tertentu dapat meningkatkan kinerja dari satu atlet, tidak cukup untuk yang lain, dan benar-benar merusak untuk ketiga.
Staleness merupakan masalah bagi atlet dalam semua olahraga dan atlet dari berbagai budaya. Raglin dan Morgan (1989) menunjukkan bahwa dari perenang yang mengembangkan staleness selama tahun pertama mereka, 91% menjadi menurun dalam satu atau lebih musim berikutnya. Namun hanya 30% dari perenang yang tidak menjadi basi sebagai mahasiswa baru kemudian dikembangkan gangguan pada musim berikutnya. Ternyata, setelah seorang atlet pengalaman staleness, pertarungan berikutnya menjadi lebih mungkin. Dengan demikian, staleness dilihat sebagai hasil akhir atau hasil dari overtraining ketika atlet memiliki kesulitan untuk mempertahankan rejimen standar pelatihan dan tidak dapat lagi mencapai hasil kinerja sebelumnya.
Atlet benar-benar akan mengalami penurunan yang signifikan dalam kinerja (misalnya, 5% atau lebih) untuk jangka waktu misalnya; 2 minggu atau lebih yang terjadi selama atau setelah masa overtraining dan gagal untuk meningkatkan dalam menanggapi pendek istilah pengurangan dalam pelatihan (O'Connor, 1997). Tanda perilaku utama staleness terganggu kinerja, sedangkan gejala psikologis utama adalah gangguan mood dan peningkatan upaya perseptual selama latihan. Sebagai contoh, telah dilaporkan bahwa sekitar 80% dari atlet besi secara klinis depresi. Burnout merupakan respon psychophysiological lebih lengkap penarikan dari pelatihan yang berlebihan dan tuntutan kompetitif. Empat model olahraga-spesifik kelelahan telah dikembangkan untuk membantu menjelaskan fenomena kelelahan. Setiap model berisi beberapa informasi menarik dan berguna tentang berbagai faktor yang mempengaruhi kelelahan.
     B.            Model Stress Kognitif dan Afektif
Smith (1986) mengembangkan empat langkah model stres berbasis kelelahan dalam olahraga. Dalam model Smith, kelelahan adalah sebuah proses yang melibatkan komponen fisiologis, psikologis, dan perilaku bahwa kemajuan secara bertahap diprediksi, masing-masing komponen ini dipengaruhi oleh tingkat motivasi dan kepribadian. Model kognitif-afektif, mungkin yang paling berkembang, menyajikan empat tahap proses kejenuhan yang melibatkan tuntutan situasional, penilaian kognitif situasi, respon fisiologis, dan perilaku.
Tegangan negatif-model pelatihan respon memfokuskan perhatian lebih pada respon untuk pelatihan fisik, walaupun faktor psikologis juga dianggap penting. Pengembangan identitas unidimensional dan model kontrol eksternal yang lebih sosiologis, melihat stres sebagai gejala dari faktor-faktor sosial dan kemasyarakatan. Akhirnya, teori jebakan berpendapat bahwa atlet yang rentan terhadap kelelahan merasa "terjebak" oleh olahraga ketika mereka tidak benar-benar ingin berpartisipasi di dalamnya tetapi percaya bahwa mereka harus menjaga untuk beberapa alasan seperti mempertahankan identitas mereka atau karena mereka telah begitu banyak diinvestasikan dalam keterlibatan mereka.
    C.            Model Respon Negative Training
         Silva models (1990) kebanyakan respon  kebosanan di fokuskan pada latihan fisik, faktor psikologis sangat penting dalam proses ini. Secara khusus Silva menegaskan tekanan pada proses latihan atlet yakni  dapat terjadi melalui fisik dan psikologi yang dapat menyebabkan efek yang positif dan negative. Adaptasi positif adalah harapan hasil dari latihan, latihan yang dilakukan terlalu banyak akan berdampak menjadi adaptasi negatif. Adaptasi negatif  adalah dugaan dari respon latihan yang negatif dan akan berdampak menjadi  kelelahan, overtraining dan kebosanan. Faktor yang menyebabkan overtaraining dan kebosanan, penyebab kelelahan dan overtraining dibagi menjadi empat kategori umum:
                                    1.            Keadaan  fisik, masalah fisik termasuk cedera, overtraining, merasa lelah sepanjang waktu, dan kurangnya pembangunan fisik
                                    2.            Masalah logistik  Ini termasuk perjalanan serta tuntutan
                                    3.            Kepedulian sosial-interpersonal dan psikologis keperihatinan misalnya, harapan yang tidak pantas, kurangnya kenikmatan. Ini termasuk ketidakpuasan dengan kehidupan sosial, dukungan orang tua, negatif dan bersaing dengan saudara untuk perhatian orangtua.
                                    4.            Masalah Psikologis. Sejauh ini faktor paling sering dicatat, terhitung lebih dari 50% alasan yang diberikan untuk kelelahan, kehawatiran psikologis termasuk harapan yang tidak terpenuhi atau tidak patut seperti penekanan yang berlebihan, sebuah kesadaran bahwa karir profesional itu tidak mungkin terjadi tanpa psikologis yang kuat.
    D.            Perbedaan Individu
Meskipun ada faktor-faktor umum yang terkait masalah overtraining, kelelahan juga merupakan pengalaman pribadi yang unik. Pelatih  mencoba untuk membantu atlet untuk mengatasi masalah burnout.
     E.            Gejala Overtraining dan Burnout
Overtraining dan kelelahan adalah fisik dan psikologis di alam. Beberapa gejala umum dari overtraining termasuk kelelahan fisik, kelelahan mental, grouchiness, depresi, apatis, dan gangguan tidur. Gejala kelelahan termasuk kehilangan minat, kurangnya keinginan untuk bermain, kelelahan fisik dan mental, kurangnya kepedulian, depresi, dan kecemasan meningkat.
     F.            Cara Untuk mempelajari  Kelelahan
Dampak dari kelelahan akan menemukan atlet yang akan meninggalkan olahraga, karena mereka merasa bosan dan membandingkannya dengan atlet, sedangkan berpartisipasi olahraga dalam olahraga dan latihan tetapi tidak merasa bosan.  Tapi sulit untuk menemukan orang-orang seperti ini, dan banyak  pemain mengalami kebosanan atau pun kelelahan tetap dalam olahraga karena alasan seperti uang, prestasi,  tekanan dari pelatih atau orangtua. Instrumen yang paling banyak digunakan dan diterima dalam psikologi umum adalah Maslach Burnout Inventory (Maslach & Jackson, 1981), yang mengukur frekuensi dan intensitas yang dirasakan perasaan kelelahan.
Tiga komponen kelelahan:
                       1.            kelelahan emosional. Ini termasuk perasaan dari overextension emosional dan kelelahan.
                       2.            Depersonalisasi. Ini muncul sebagai respon impersonal kepada orang lain dalam lingkungan seseorang. Perasaan terhadap orang-orang yang terpisah, dan rasa hanya akan melalui gerakan.
                       3.            Rendahnya rasa keberhasilan pribadi. Hal ini mengacu pada perasaan penurunan kompetensi dan prestasi dalam pekerjaan seseorang. perasaan rendah prestasi sering mengakibatkan rasa kurang kemampuan untuk mengendalikan situasi.
    G.            Kebosanan Dalam Olahraga Profesional
Kita sekarang beralih ke beberapa temuan utama  kelelahan dalam olahraga kompetitif. Peneliti telah memeriksa kelelahan tidak hanya pada atlet tetapi juga terjadi pada pelatih,dan pejabat.
      1.            Kebosanan Dalam pelatih
Hanya sedikit orang yang sadar akan busur panjang  pelatih dimasukkan ke dalam sebelum dan sesudah permainan. Pelatih di sekolah atau tingkat perguruan tinggi mereka  bertanggung jawab untuk beberapa tim, bekerja di ruang pelatihan atau di lapangan hampir sepanjang hari. Bentuk tekanan mempersiapkan atlet untuk bertanding  yang menambahkan stress, (Gieck, Brown, dan Shank (1980). Untuk mempelajari bagaimana mempengaruhi kelelahan atlet, pelatih harus  menunjukkan bahwa pelatih tidak boleh menampakkan tingkat stress terhadap atletnya. Banyak pelatih melaporkan bahwa menjadi pelatih harus siap dalam waktu apapun untuk menangani setiap individu yang mengalami gangguan pada psikologisnya.
      2.            Kebosanan pada Pejabat
Pejabat juga mengalami tekanan besar, dan mereka menerima beberapa kompensasi untuk ketegangan selain kepuasan dari pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Hal ini menyebabkan tingkat turnover yang tinggi dan kekurangan pejabat. Ternyata rasa takut kegagalan adalah prediktor terkuat kejenuhan yang dialami pejabat olahraga (Taylor, Daniel, Leith, & Burke, 1990).
Dalam studi yang berfokus pada sumber stres, para pejabat melaporkan bahwa membuat panggilan buruk adalah suatu stressor utama yang berhubungan dengan kelelahan dirasakan pemain, pelatih, dan penonton lebih mungkin untuk mengkritisi pejabat baik negative maupun positif (Anshel & Weinberg, 1995). Ini adalah hipotesis bahwa stres dapat menyebabkan lebih tinggi tingkat kejenuhan di pejabat. Selain itu, seperti pelatih atletik, pejabat yang mengalami konflik peran juga memiliki tingkat yang lebih tinggi kelelahan dirasakan.
      3.            Kebosanan di Pelatih
Pelatih adalah kandidat utama untuk kelelahan, dan "Stres dan Burnout di Pelatih" beberapa laporan anekdotal pelatih dirasakan mereka tentang tingkat stres yang tinggi dan kelelahan. Berbagai macam stres yang mencakup laporan pelatih tekanan untuk menang, gangguan administratif atau ketidak pedulian orangtua, masalah disiplin, harus memenuhi peran ganda, perjalanan komitmen yang luas, dan keterlibatan pribadi yang intens.
Mari kita lihat beberapa penelitian meneliti faktor spesifik yang berhubungan dengan burnout pada pelatih.
      1.            Perbedaan Gender
Pelatih perempuan semakin banyak merasakan tekanan karena menghadapi pelatih laki - laki, kebanyakan studi (Caccese & Mayerberg, 1984; Kelley, 1994; Kelley, Eklund, & Ritter-Taylor, 1999; Kelley & Gill, 1993;. Vealey et al, 1992) menunjukkan bahwa kelelahan perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, walaupun beberapa studi yang melaporkan lebih tinggi tingkat kejenuhan pada laki-laki (misalnya, Dale & Weinberg, 1990). Telah mengemukakan bahwa peningkatan tingkat stres dan kelelahan dirasakan oleh pelatih wanita  dapat dijelaskan oleh mereka yang diharapkan tidak hanya untuk memenuhi tanggung jawab pembinaan tetapi juga untuk membina atlet mereka. Athletic administrator mungkin perlu menguji kembali diferensial tuntutan ditempatkan pada perempuan, dibandingkan dengan laki-laki, pelatih dan mungkin membuat beberapa perubahan untuk memastikan bahwa peran dan tanggung jawab yang adil.
      2.            Usia dan Perbedaan Pengalaman
Penelitian telah menunjukkan bahwa pengalaman,  pelatih yang  lebih muda dan kurang pengetahuan  memiliki tingkat yang lebih tinggi kelelahan dirasakan dari pada pelatih yang lebih tua (Dale & Weinberg, 1990; Kelley & Gill, 1993; Taylor et al, 1990.). Tentu saja, pelatih yang merasa tingkat kelelahan yang sangat tinggi dan stres mungkin sudah berhenti membina atletnya. Dengan demikian, para pelatih yang lebih tua mungkin tetap memiliki keterampilan yang baik untuk menangani stres di lingkungan mereka.
      3.            Coaching Style
Dale dan Weinberg (1990) menyelidiki sekolah tinggi dan pelatih perguruan tinggi , menemukan bahwa mereka dengan pertimbangan gaya kepemimpinan memiliki tingkat kejenuhan yang dirasakan dari pelatih yang lebih berorientasi terhadap tujuan. Dia juga mengasumsikan bahwa pelatih yang mengembangkan hubungan lebih dekat, pribadi dengan atlet mereka menderita kelelahan lebih besar karena mereka lebih peduli. Ini bukan untuk mengatakan bahwa pelatih harus lebih memperhatikan atletnya, mereka harus menyadari bahwa gaya ini membutuhkan banyak energi, emosi, dan waktu, Pelatih muda tampaknya memiliki tingkat yang lebih tinggi kejenuhan dirasakan dari pelatih tua, sebagian karena beberapa pelatih yang lebih tua sudah mempunyai banyak pengalaman.
      4.            Dukungan Sosial
Pelatih yang melaporkan tingkat kepuasan dengan dukungan sosial juga mengalami tingkat yang lebih rendah stres dirasakan dan kelelahan (Kelley, 1994; Kelley & Gill, 1993). Beberapa pelatih perlu pengingat untuk mencari dukungan sosial yang memuaskan pada saat mereka stres tinggi dan untuk menjadi lebih sadar akan pentingnya sosial dalam kehidupan pribadi dan profesional.

BAB III
PENUTUP
    A.            Kesimpulan
Setiap manusia memiliki keterbatasan kemampuan, kekuatan, dan semangat. Overtraining dan kelelahan telah menjadi masalah yang berarti dalam dunia olahraga dan aktivitas fisik. Oleh karena itu pelatih perlu memahami penyebab kejenuhan dan mempelajari strategi untuk membantu mengurangi kemungkinan yang akan terjadinya kelelahan yang berlebihan.
Overtraining dan kelelahan adalah fisik dan psikologis di alam. Beberapa gejala umum dari overtraining termasuk kelelahan fisik, kelelahan mental, grouchiness, depresi, apatis, dan gangguan tidur. Gejala kelelahan termasuk kehilangan minat, kurangnya keinginan untuk bermain, kelelahan fisik dan mental, kurangnya kepedulian, depresi, dan kecemasan meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Robert S.Weinberg  Dan Daniel  (2007). Foundation Of Sport And Exercise Psychology   Edisi 4, Gould Human Kinetics Usa



Monday 4 May 2015

PSIKOLOGI OLAHRAGA “ MOTIVATION “


PSIKOLOGI OLAHRAGA
 “ MOTIVATION “




BAB I
PENDAHULUAN

Pada masa sekarang ini motivasi memang sangat diperlukan bagi orang-orang yang kurang optimis dalam menghadapi hidup. Motivasi sangat berguna bagi seseorang untuk mencapai suatu keinginan. Motivasi merupakan pendorong bagi seseorang untuk mencapai apa yang diinginkannya. Jika seseorang mempunyai keinginan maka untuk mewujudkan keinginan tersebut memerlukan suatu energi pendorong yang akan sangat membantu dalama pencapaiankeinginannya tersebut, energi pendorong itulah yang disebut dengan motivasi.
Bahkan lebih sering lagi seseorang memberikan motivasi kepada orang lain. Biasanya motivasi yang diberikan orang lain dapat menyebabkan seseorang menjadi sangat bersemangat dan antusias dalam mewujudkan apa yang menjadi keinginan orang tersebut. Hal tersebut terjadi karena ketika ada orang yang memberikan motivasi kepada orang lain maka orang yang diberikan motivasi merasa ada yang mendukung dan mendorong untuk melakukan hal yang menjadi keinginan orang itu.
Dalam melakukan suatu aktivitas atau kegiatan banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Salah satu faktor yang berperan dalam pencapaian hasil yang optimal dalam melakukan suatu aktivitas yaitu motivasi. Motivasi merupakan suatu dorongan atau dukungan yang dapat membuat seseorang menjadi semangat dalam melakukan suatu aktivitas atau kegiatan. Biasanya motivasi yang diberikan orang lain dapat menyebabkan seseorang menjadi sangat bersemangat dan antusias dalam mewujudkan apa yang menjadi keinginan orang tersebut. Hal tersebut terjadi karena ketika ada orang yang memberikan motivasi kepada orang lain maka orang yang diberikan motivasi merasa ada yang mendukung dan mendorong untuk melakukan hal yang menjadi keinginan orang itu.

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). motivasi dalam bentuk stres kompetitif, dan motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Beragam bentuk motivasi ini adalah semua bagian dari definisi yang lebih umum motivasi. oleh karena itu,kami memahami pengertian motivasi secara spesifik dan lebih luas.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN  MOTIVASI
Berikut adalah beberapa definisi motovasi menurut beberapa ahli :
1.      Menurut Mitchell (Winardi, 2002) motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu.
2.      Menurut Gray (Winardi, 2002) motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.
3.      Menurut Suprihanto (2003), motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota
4.      Morgan mengemukakan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek-aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah keadaan yang mendorong tingkah laku (motivating states), tingkah laku yang di dorong oleh keadaan tersebut (motivated behavior), dan tujuan dari pada tingkah laku tersebut (goals or ends of such behavior).
5.       McDonald (1950), Motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan.
6.      Menurut Wexley dan Yukl (dalam As’ad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif.
7.      (Sage,1977). Motivasi dapat didefinisikan sebagai arahan dan intensitas suatu usaha
8.      Motivasi adalah kekuatan tersembunyi di dalam diri yang mendorong seseorang untuk berkelakuan dan bertindak dengan cara yang khas (Davies, Ivor K: 1986).
9.      Motivasi adalah usaha–usaha untuk menyediakan kondisi–kondisi sehingga anak itu mau melakukan sesuatu (Prof. Drs. Nasution: 1995).
10.  Chung dan Megginson yang dikutip oleh Faustino Cardoso Gomes, menerangkan bahwa pengertian motivasi adalah tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang yang mengejar suatu tujuan dan berkaitan dengan kepuasan kerja dan perfoman pekerjaan.
11.  A. Anwar Prabu Mangkunegara, memberikan pengertian motivasi dengan kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara prilaku yang berubungan dengan lingkungan kerja.
12.  H. Hadari Nawawi mendefinisikan motivasi sebagai suatu keadaan yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang berlangsung secara sadar.
13.  T. Hani Handoko mengemukakan bahwa motivasi adalah keadaan pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.
14.  Soemanto (1987) secara umum mendefinisikan motivasi sebagai suatu perubahan tenaga yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi- reaksi pencapaian tujuan.
15.  Motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan (Drs. Moh. Uzer Usman: 2000).

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasme dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).


B.     Komponen - komponen motivasi adalah sebagai berikut :
·           Arah Usaha
                   Arah usaha mengacu pada apakah seseorang/individu berusaha keluar mencari jalan keluar, pendekatan, atau tertarik pada situasi tertentu. misalnya, seorang siswa SMA dapat termotivasi untuk bergabung pada tim tennis, wanita bisnis bergabung dengan kelas aerobik, atau seorang atlet terluka untuk mencari perawatan medis.olahraga dan psikolog olahraga dapat melihat motivasi dari beberapa keuntungan tertentu, termasuk motivasi berprestasi, motivasi dalam bentuk streskompetitif.

·           Intensitas Usaha
            intensitas usaha mengacu pada berapa banyak usaha seseorang menempatkan usahanya dalam situasi tertentu. misalnya, siswa dapat menghadiri kelas pendidikan jasmani (pendekatan situasi) tetapi tidak mengajukan banyak usaha selama kelas. di sisi lain, pegolf mungkin ingin membuat putt menang begitu parah sehingga ia menjadi terlalu termotivasi, mengencangkan, dan berkinerja buruk. Akhirnya, atlet angkat besi mungkin bekerja 4 hari seminggu seperti teman - temannya, namun berbeda dari mereka dalam hal usaha yang luar biasa atau intensitas dia menempatkan ke setiap latihan.

Ø Pandangan mengenai motivasi
       Masing – masing kita mengembangkan pandangan sendiri – sendiri tentang bagaimana motivasi bekerja, teori tentang apa yang memotivasi orang. kita cenderung untuk  melakukan hal ini dengan mempelajari apa yang memotivasi diri kita sendiri dan mengamati bagaimana orang lain termotivasi.Meskipun banyak pandangan mengenai motivasi, tetapi kebanyakan orang mengetahui motivasi itu masuk ke dalam tiga orientasi umum yang paralel dengan pendekatan kepribadian dibahas dalam bab 2. ini termasuk orientasi yang berpusat pada personal terhadap motivasi, orientasi yang berpusat pada situasi, dan orientasi interaksional.
·           Pandangan yang berpusat pada Personal
            Pandangan yang berpusat pada personal ( juga disebut pandangan yang berpusat pada peserta / individu ) berpendapat bahwa perilaku termotivasi terutama fungsi dari karakteristik individu itu sendiri. yaitu, kepribadian,kebutuhan,dan tujuan dari mahasiswa,atlet, atau olahragawan adalah penentu utama perilaku termotivasi. Dengan  demikianpelatih sering menggambarkan seorang atlet sebagai " pemenang sejati " menyiratkan bahwa individu ini memiliki cerminan pribadi yang memungkinkan dia untuk unggul dalam olahraga. Dalam hal ini sama ketika seorang atlet lain digambarkan sebagai " pecundang " yang mempunyai karakter yang tidak mau bangkit dari kekalahan.
            Beberapa orang memiliki sifat pribadi  yang tampaknya mempengaruhi mereka untuk keberhasilan dan tingkat motivasi yang tinggi, sedangkan beberapa orang lain tampaknya kurang motivasi, kurang tujuan pribadi, dan keinginan. Namun, kebanyakan dari kita akan setuju bahwa kita berada dalam bagian yang dipengaruhi oleh situasi di mana kita ditempatkan. Misalnya, jika guru tidak menciptakan lingkungan belajar yang memotivasi, motivasi siswa akibatnya akan menurun. sebaliknya, seorang pemimpin yang sangat baik yang menciptakan lingkungan yang positif akan sangat meningkatkan motivasi siswanya. Dengan demikian, mengabaikan pengaruh lingkungan terhadap motivasitidak realistis, dan ini merupakan salah satu alasan olahraga dan psikolog olahraga tidak mendukung pandangan motivasi yang berpusat pada sifat / individu untuk membimbing praktek yang profesional.

·           Pandangan yang Berpusat Pada Situasi
            Kontras dengan pandangan yang berpusat pada sifat, orientasi yang berpusat pada situasi berpendapat bahwa tingkat motivasi ditentukan terutama olehsituasi. misalnya, Brittany mungkin benar-benar termotivasi dalam kelas latihan aerobik, tapi tidak termotivasi dalam situasi olahraga kompetitif.
            Kita mungkin akan setuju bahwa situasi mempengaruhi motivasi, tetapi bisa juga mengingat ada situasi dimana Anda tetap termotivasi meskipun lingkungan yang negatif? misalnya, mungkin Anda bermain untuk pelatih, Anda tidak suka yang terus - menerus berteriak dan mengkritik Anda, tapi tetap saja Anda tidak keluar dari tim atau kehilangan motivasi Anda. dalam kasus seperti situasi itu jelas bukan faktor utama yang mempengaruhi tingkat motivasi Anda. untuk alasan ini, olahraga dan spesialis psikologi olahraga tidak merekomendasikan pandangan yang berpusat pada situasi terhadap motivasi sebagai yang paling efektif untuk membimbing praktek olahraga.
·           Pandangan Interaksional
            Pandangan motivasi yang paling banyak didukung oleh olahraga dan psikolog olahraga saat ini adalah peserta dengan pandangan interaksional peserta dan situasi. "Interaksionis" berpendapat bahwa hasil motivasi tidak hanya dari faktor peserta, seperti kepribadian, kebutuhan, minat, dan tujuan, atau semata-mata dari faktor situasional, seperti pelatih atau gaya guru atau rekor menang – kalah dari sebuah tim. Sebaliknya, cara terbaik untuk memahami motivasi adalah untuk menguji  bagaimana kedua perangkat faktor ini berinteraksi 

Ø Lima Pedoman untuk Membangun Motivasi
                   Untuk meningkatkan motivasi, Anda harus menganalisis dan merespon tidak hanya kepribadian pemain tetapi  juga untuk interaksi karakteristik pribadi dan situasional. Karena motivasi dapat berubah dari waktu ke waktu, Anda harus terus memantau motivasi  orang untuk berpartisipasi bahkan berbulan – bulan setelah mulai. Lima pengamatan mendasar yang berasal dari motivasi pandangan interaksional membuat pedoman yang baik untuk latihan / praktek profesional. Kelima pedoman itu adalah sebagai berikut :

Pedoman1 : Baik faktor situasi dan faktor personal harus memotivasi peserta/individu
       Ketika kita sebagai seorang pelatih mencoba untuk meningkatkan motivasi, kita harus mempertimbangkan faktor situasi dan faktor personal para peserta / individu. Kita harus pastikan bahwa peserta / individu termotivasi mengikuti latihan baik oleh faktor personal dan situasi. Sering ketika guru, instruktur, pelatih, atau pemimpin latihan bekerja dengan siswa, atlet, atau klien yang tampaknya kurang motivasi, mereka secara langsung memperlihatkan kurangnya motivasi mereka pada karakteristik pribadi mereka.Contohnya saja seperti, para peserta / individu tidak peduli terhadap latihan, atau latihan tidak hanya menjadi prioritas dalam kehidupan peserta. Frase tersebut menggambarkan sifat pribadi kepada orang-orang dan, pada dasarnya, berfungsi untuk mengabaikan dalam membantu peserta mengembangkan motivasi.
       Pada kenyataannya, motivasi peserta rendah biasanya merupakan hasil dari kombinasi faktor personal dan situasi. Faktor pribadi dapat menyebabkan orang tidak memiliki motivasi, tapi begitu juga lingkungan di mana orang berparti sipasi. Dan seringkali mungkin lebih mudah bagi instruktur untuk mengubah situasi dari pada untuk mengubah kebutuhan dan kepribadian peserta. kuncinya, bagaimana pun, kita sebagai pelatih / instruktur tidak hanya memusatkan perhatian kita pada salah satu faktor seperti  pada faktor personal peserta atau hanya pada faktor situasi yang dihadapi, tetapi mempertimbangkan interaksi kedua faktor tersebut.
Pedoman 2 : Peserta / individu memiliki beberapa motif keterlibatan
       Sebagai seorang pelatih atau instruktur hal yang terpenting adalah memahami / mengetahui motif peserta untuk terlibat dalam latihan atau olahraga. Kita harus mengerti mengapa orang berpartisipasi / terlibat dalam aktivitas olahraga kita, mungkin mereka mempunyai alasan tersendiri seperti untuk menurunkan berat badan, menjaga kesehatan, atau untuk mencari teman. Selanjutnya, ada beberapa orang yang terlibat dalam aktivitas olahraga yang mempunyai alasan yang lebih dari satu. Contohnya : seorang laki-laki yang mengikuti latihan angkat beban karena dia menginginkan badan yang terlihat bagus. Selain itu, dengan dia mengikuti olahraga angkat beban ini juga dapat membuat badan dia sehat, plus mendapatkan teman. Oleh karena itu, para instruktur / pelatih harus mengetahui alasan - alasan keterlibatan para peserta / individu, karena alasan tersebut mempengaruhi motivasi mereka dalam melakukan olahraga.
       Karena alasan - alasan tersebut, kita sebagai pelatih / instruktur harus menyadari motivasi peserta / individu untuk terlibat dalam aktivitas olahraga. Ada beberapa langkah - langkah untuk meningkatkan kesadaran kita sebagai pelatih / instruktur :
1.      Lakukan observasi kepada partisipan lihat apa yang mereka suka dan apa yang mereka tidak suka mengenai aktivitas olahraga.
2.      Mencari tahu informasi baik kepada teman partisipan, keluarga, dll untuk mengetahui alasan mengikuti aktivitas olahraga ini.
3.      Secara berskala kita mulai berbicara secara langsung kepada partisipan untuk menceritakan alasan dia untuk berpartisipasi dalam olahraga ini.
Pedoman 3 : Mengubah Lingkungan untuk Meningkatkan Motivasi
       Mengetahui mengapa orang terlibat dalam olahraga dan latihan adalah penting, tetapi informasi ini saja tidak  cukup untuk meningkatkan motivasi. Anda perlu menggunakan apa yang Anda pelajari tentang peserta untuk struktur olahraga dan mengevaluasi lingkungan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Contohnya : sebagai seorang instruktur tempat fitnes, pekerjaan kita tidak hanya cukup untuk mengetahui alasan partisipan mengikuti fitnes ditempat kita. Tetapi kita juga harus berusaha melakukan sesuatu agar harapan / keinginan yg dia harapkan melakukan olahraga dapat terwujud. Salah  satu caranya adalah dengan mengubah lingkungan / situasi dalam tempat fitnes kita, seperti memutarkan musik yang semangat dan bersuara nyaring agar para partisipan dapat terus termotivasi dalam mencapai keinginan mereka.

Pedoman  4 :  Pelatih / Instruktur Mempengaruhi Motivasi
       Sebagai seorang pelatih / instruktur dalam aktivitas olahraga bukanlah hal yang mudah. Karena pembawaan diri kita sebagai pelatih / instruktur olahraga mempengaruhi motivasi para partisipan. Ketika kita dalam kondisi yang baik, maka kita dapat memberikan contoh dan gerakan yang baik dalam melatih olahraga, tetapi ketika kita dalam kondisi yang tidak baik / bad mood (ada masalah) maka secara otomatis pengajaran kita tidak optimal. Dan ini dapat mempengaruhi motivasi murid ataupun partisipan kita dalam melakukan aktivitas olahraga. Untuk menghadapi ini, hal yang terpenting adalah kita (pelatih/instruktur olahraga) mencoba bersikap profesional terhadap apa yang kita hadapi, tetapi ketika kita tidak dapat melakukannya, memberi tahu siswa/partisipan bahwa sekarang anda sedang tidak dalam kondisi yang baik adalah solusi yang baik, sehingga para siswa / partisipan tidak menyalah artikan kelakukan pelatih / intruktur olahraga.     
Pedoman 5 :  Menggunakan Modifikasi perilaku untuk mengubah motif motivasi  peserta yang  tidak diinginkan
       Kami telah menekankan perlunya penataan lingkungan untuk memfasilitasi motivasi peserta karena pemimpin olahraga,  seperti  para instruktur, pelatih, atau guru yang biasanya memiliki kontrol yang lebih langsung terhadap lingkungan,  lebih dari motif individu. Bagaimanapun, ini tidak berarti bahwa tidak tepat untuk mencoba mengubah motif peserta untuk terlibat.
 Misalnya, Pemain sepak bolamuda, mungkin terlibat dalam olahraga yang terutama untuk menimbulkan cedera pada orang lain. Pelatih pemain ini pasti akan ingin menggunakan teknik modifikasi perilaku untuk mengubah motivasi yang tidak diinginkan ini. yaitu, pelatih akan memperkuat bermain bersih yang baik, menghukum bermain agresif yang dirancang untuk menimbulkan cedera, dan sekaligus mendiskusikan perilaku yang sesuai dengan pemain.


Ø Apa itu motivasi Berprestasi dan daya saing
       Pada dasarnya, orang tidak hanya berpartisipasi dalam olahraga dan aktivitas fisik untuk alasan yang berbeda, mereka juga termotivasi oleh metode dan situasi yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk memahami mengapa beberapa orang tampak begitu sangat termotivasi untuk mencapai tujuan mereka dan yang lainnya tampaknya untuk biasa saja mengikuti aktivitas olahraga tersebut. Kita akan mulai dengan membahas dua motif terkait yang mempengaruhi kinerja dan partisipasi dalam olahraga: motivasi berprestasi dan daya saing.
·         Motivasi Berprestasi
       Motivasi berprestasi mengacu pada upaya seseorang untuk menguasai tugas, mencapai dengan secara baik, mengatasi hambatan, melakukan lebih baik dari pada yang lain, dan bangga dalam melaksanakan bakat ( Murray,1938). Selanjutnya, motivasi berprestasi adalah orientasi seseorang untuk berjuang untuk sukses, bertahan dalam menghadapi kegagalan, dan pengalaman kebanggaan prestasi ( Gill, 1986 ).
       Tidak mengherankan, jika pelatih, pemimpin olahraga, dan guru memiliki ketertarikan pada motivasi berprestasi: ini dikarenakan karakteristik yang tepat yang memungkinkan atlet untuk mencapai tujuannya dengan baik, melakukan latihan untuk mendapatkan tingkat kebugaran, dan siswa untuk memaksimalkan pembelajaran.
       Seperti pandangan umum mengenai motivasi dan kepribadian, dilihat dari motivasi berprestasi khususnya telah berkembang dari pandangan yang berorientasi pada personal pada pandangan interaksional yang menekankan tujuan prestasi yang lebih berubah dan bagaimana ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh situasi. motivasi berprestasi dalam olahraga yang populer disebut daya saing / persaingan.

·         Persaingan
       Persaingan didefinisikan sebagai " karakter yang berjuang untuk kepuasan ketika membuat perbandingan dengan beberapa standar keunggulan dihadapan evaluatif lain ( Martens, 1976, p.3 ). Pada dasarnya, Martens memandang persaingan sebagai perilaku prestasi dalam konteks kompetitif, dengan evaluasi sosial sebagai komponen kunci. penting untuk melihat orientasi dikatakan berpestasi pada situasi tertentu. Contohnya beberapa orang sedang melakukan persaingan bermain bola dengan setting situasi / tempat yang berbeda, maka mereka akan menggunakan setting kompetisi olahraga dan tidak menggunakan setting pengaturan lain misalnya persaingan dalam kelas matematika.


B.                  Mengembangkan Motivasi berprestasi dan Daya Saing
Pada intinya tidak hanya individu yang berpartisipasi dalam olahraga dan aktivitas fisik untuk alasan yang berbeda, individu-individu tersebut juga termotivasi dengan metode yang berbeda dan situasi. Oleh karena itu, penting untuk memahami mengapa sebagian orang tampak begitu sangat termotivasi untuk mencapai tujuan mereka.
Motivasi berprestasi adalah upaya seseorang untuk menguasai suatu tugas, mencapai keunggulan, mengatasi hambatan, melakukan lebih baik daripada yang lain, dan bangga dalam menggunakan bakat (Murrat, 1983). Ini adalah orientasi seseorang untuk berusaha untuk sukses melakukan tugas, bertahan dalam menghadapi kegagalan, dan kebanggaan pengalaman dalam prestasi (Gill, 2000).
Daya Saing didefinisikan sebagai disposisi untuk berjuang untuk kepuasan saat melakukan perbandingan dengan beberapa standar keunggulan dihadapan lain evaluatif (Martens, 1976: 3). Pada dasarnya Martens memandang daya saing sebagai perilaku prestasi dalam konteks kompetitif, dengan evaluasi sosial sebagai komponen kunci. Hal ini penting untuk melihat orientasi prestasi situasi tertentu. Beberapa orang yang sangat berorientasi pada pencapaian dalam satu pengaturan.
Martens mendefinisikan daya saing yang terbatas kepada situasi di mana yang dievaluasi oleh atau memiliki potensi untuk dievaluasi oleh orang lain yang memiliki pengetahuan. Namun, banyak orang bersaing dengan diri mereka sendiri. Bahkan ketika tidak ada orang lain mengevaluasi kinerja. Tingkat motivasi berprestasi akan membawa diri ini untuk berkompetisi, di mana sebagai tingkat daya saing akan mempengaruhi perilaku dalam situasi sosial yang dievaluasi.
Motivasi berprestasi dan daya saing tidak hanya berurusan dengan hasil akhir atau mengejar keberhasilan tetapi juga dengan perjalanan psikologis kesana. Jika dapat memahami mengapa perbedaan motivasi terjadi pada orang, seseorang bisa campur tangan secara positif. Dengan demikian, bagaimana daya saing seseorang dan motivasi berprestasi mempengaruhi berbagai perilaku, pikiran, dan perasaan, termasuk yang berikut:
a.       Pilihan aktivitas (misalnya, mencari lawan dari kemampuan yang sama untuk bersaing atau mencari pemain dari kemampuan yang lebih besar atau lebih kecil untuk bermain dengan upaya).
b.      Usaha mencapai tujuan (misalnya, seberapa sering berlatih).
c.       Intensitas usaha dalam mengejar tujuan (misalnya, bagaimana konsisten mencoba selama pekerjaan).
d.      Kegigihan dalam menghadapi kegagalan dan kesulitan (misalnya, ketika keadaan menjadi sulit, apakah akan bekerja lebih keras atau mengambil lebih mudah).


C.     JENIS MOTIVASI

1.      Motivasi yang didasarkan atas ketakutan (fear motivation). Seseorang melakukan sesuatu karena takut jika tdk maka sesuatu yang buruk akan terjadi, misalnya orang patuh pada atasannya karena takut dipecat, seorang siswa datang tepat waktu di kelas agar tidak mendapatkan hukuman dari guru jika datang terlambat.
2.      Motivasi karena ingin mencapai sesuatu (achievement motivation). Motivasi ini jauh lebih baik dari motivasi yang pertama, karena sudah ada tujuan di dalamnya. Seseorang mau melakukkan sesuatu karena dia ingin mencapai suatu sasaran atau prestasi tertentu.
3.      Motivasi yang didorong oleh kekuatan dari dalam (inner motivation), yaitu karena didasarkan oleh misi atau tujuan hidupnya. Seseorang yang telah menemukan misi atau tujuan hidupnya. Seseorang yang telah menemukan misi hidupnya bekerja berdasarkan nilali (values) yang di yakininya. Nilai-nilai itu bisa berupa rasa kasih (love)  pada sesama atau ingin memiliki makna dalam menjalani hidupnya. Orang yang memiliki motivasi seperti ini biasanya memiliki visi yang jauh ke depan. Baginya bekerja bukan sekedar untuk memperoleh sesuatu (uang, harga diri, kebanggaan, prestasi) tetapi adalah proses belajar dan proses yang harus dilaluinya untuk mencapai misi hidupnya.
4.      Motivasi Intrinsik
Motivasi Intrinsik merupakan motivasi yang berasal dari rangsangan di dalam diri setiap individu. Motivasi intrinsik terdiri dari dorongan dan minat individu untuk melakukan suautu aktivitas tanpa mengharap ataupun meminta ganjaran. Sebagaimana yang sudah dibicarakan, Bruner (1996) mengaitkan motivasi intrinsik ini dengan naluri ingin tahu dan dorongan mencapai kemudahan belajar bagi siswa yang baru masuk sekolah. Bagaimanapun, bukan semua motivasi intrinsik diwujudkan secara nyata, akan tetapi ada juga motivasi intrinsik yang dibentuk melalui pembelajaran dan pengalaman yang membawa kepuasan. Contohnya, kebiasan melakukan aktivitas olahraga merupakan gerakan motivasi intrinsik yang dibentuk berdasarkan pembelajaran dan pengalaman.
Harter (1981) mengenal pasti lima dimensi kecenderungan motivasi intrinsic dalam bidang pembelajaran. Dimensi-dimensi ini adalah insentif bekerja untuk memuaskan minat dan sifat ingin tahu, percobaan untuk mencapai penguasaan yang bebas, penilaian yang bebas berkenaan dengan apa yang hendak dilakukan di dalam kelas dan semangat untuk dapat meraih keberhasilan. Pelajar yang lebih cenderung semangat untuk dapat meraih keberhasilan. Pelajar yang lebih cenderung ke arah motivasi intrinsik menyukai pekerjaan yang menantang. Seseorang mempunyai insentif yang lebih untuk belajar memanfaatkan kepuasaan diri sendiri daripada mengambil hati guru untuk mendapatkan nilai yang baik. Seseorang lebih suka mencoba mengatasi masalah dengan sendirinya daripada bergantung pada bantuan ataupun bimbingan guru. Orang tersebut juga menerapkan suatu sistem penguasaan target dan taraf pencapaian yang memperbolehkan membuat penilaian yang bebas berkenaan dengan keberhasilan  ataupun kegagalan di dalam kelas tanpa bergantung pada guru untuk mendapatkan hasil ataupun penilaian.
5.      Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik diwujudkan dalam bentuk rangsangan dari luar yang bertujuan menggerakkan individu untuk melakukan suatu aktivitas yang membawa manfaat kepada individu itu sendiri. Motivasi ekstrinsik ini dapat dirangsang dalam bentuk-bentuk seperti pujian, insentif, hadiah, dan nilai. Selain itu, membentuk suasana dan lingkungan yang kondusif juga dapat dikategorikan ke dalam bentuk motivasi ekstrinsik, karena hal tersebut dapat mendorong seseorang pelajar untuk lebih giat belajar.
Contoh motivasi ekstrinsik yaitu pujian yang diberikan oleh guru kepada siswa didiknya karena pekerjaannya yang baik, pujian tersebut dapat mwngakibatkan daya usaha atau motivasi siswa didiknya menjadi meningkat. Dalam hal ini berlakulah apa yang dikenal dengan “hokum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekuensi yang menguntungkan dirinya (konsekuensi positif) dan menghindari perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi yang merugikan (konsekuensi negatif).

D.    TEORI MOTIVASI

1.      Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu :
a.       Kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex;
b.      Kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual;
c.       Kebutuhan akan kasih sayang (love needs);
d.      Kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status;
e.       Aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Dari penjelasan di atas mengenai kebutuhan manuasia, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Selain itu dapat dilihat bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan spiritual.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a.       Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang.
b.      Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c.        Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.

2.      Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
McClelland dikenal dengan teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan: “Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan semandiri mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil”.
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu:
a.       Sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat;
b.      Menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran;
c.       Menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
Teori prestasi (Atkinson, 1974; McClelland, 1961) adalah pandangan yang menganggap faktor interaksi personal dan situasional sebagai prediktor penting perilaku. Lima komponen membentuk teori ini, termasuk faktor kepribadian atau motif, faktor situasional, kecenderungan resultan, reaksi emosional, dan prestasi yang berhubungan dengan perilaku.
a.       Faktor Kepribadian
Motif untuk mencapai keberhasilan didefinisikan sebagai "kapasitas untuk mengalami rasa bangga dalam menyelesaikan" dimana sebagai motif untuk menghindari kegagalan adalah "kemampuan untuk mengalami rasa malu dengan kegagalan" (Gill, 2000: 104). Teori ini berpendapat bahwa perilaku dipengaruhi oleh keseimbangan dari motif. Secara khusus, berprestasi tinggi menunjukkan motivasi yang tinggi untuk mencapai sukses dan motivasi rendah untuk menghindari kegagalan. Seseorang mengevaluasi kemampuan dirinya dan tidak sibuk dengan pikiran kegagalan. Sebaliknya, berprestasi rendah menunjukkan rendahnya motivasi untuk mencapai keberhasilan, motivasi yang tinggi untuk menghindari kegagalan. Seseorang khawatir dan sibuk dengan pikiran kegagalan. Teori ini tidak membuat prediksi yang jelas bagi seseorang dengan tingkat moderat motif masing-masing (Gill, 2000).

b.      Faktor Situasional
Informasi tentang sifat-sifat saja tidak cukup untuk secara akurat memprediksi perilaku. Situasi juga harus dipertimbangkan. Ada dua pertimbangan utama yang harus dipahami dalam teori kebutuhan prestasi: probabilitas keberhasilan dalam situasi atau tugas dan nilai insentif keberhasilan. Pada dasarnya, probabilitas keberhasilan tergantung pada siapa pesaing dan sulitnya tugas.

c.       Resultan Kecenderungan
Komponen ketiga pada gambar 3.4 adalah kecenderungan resultan atau perilaku, berasal dengan mempertimbangkan tingkat prestasi motif individu dalam kaitannya dengan faktor situasional (misalnya, probabilitas keberhasilan atau nilai insentif keberhasilan). Berprestasi tinggi mencari tantangan dalam situasi ini karena senang bersaing dari kemampuan yang sama atau melakukan tugas-tugas yang tidak terlalu mudah atau terlalu sulit. Berprestasi rendah, di sisi lain, menghindari tantangan tersebut, bukannya memilih baik untuk tugas-tugas mudah di mana keberhasilan dijamin atau tidak realistis untuk tugas-tugas sulit dimana kegagalan hampir pasti. Berprestasi rendah kadang-kadang lebih memilih tugas yang sangat sulit karena tidak ada yang mengharapkan untuk menang.
d.      Reaksi Emosional
Secara khusus berapa banyak kebanggaan dan rasa malu yang dialami. Berprestasi baik tinggi dan rendah ingin mengalami kebanggaan dan meminimalkan rasa malu, tapi karakteristik kepribadian dalam berinteraksi secara berbeda dengan situasi untuk membuat lebih fokus di kedua hal yaitu kebanggaan atau malu. Berprestasi tinggi lebih fokus pada kesombongan, sedangkan berprestasi rendah fokus lebih malu dan khawatir.

e.       Pencapaian Perilaku
Berprestasi tinggi memilih tugas yang lebih menantang, lebih memilih risiko menengah, dan tampil lebih baik dalam situasi evaluatif. Berprestasi rendah menghindari risiko menengah, melakukan lebih buruk dalam situasi evaluatif, dan menghindari tugas-tugas menantang dengan memilih tugas-tugas yang sulit sehingga mereka yakin untuk gagal atau tugas yang mudah sehingga mereka dijamin sukses.
Motivasi berprestasi adalah kecenderungan berusaha untuk sukses, bertahan dalam menghadapi kegagalan dan kebanggaan pengalaman dalam prestasi. Motivasi berprestasi dalam olahraga dan pengaturan latihan berfokus pada diri dan kompetisi, sedangkan daya saing mempengaruhi perilaku dalam situasi sosial evaluatif. Teori Atribusi berfokus pada bagaimana individu menjelaskan keberhasilan dan kegagalan yang dialami.
Berprestasi tinggi memilih tugas yang menantang, lebih memilih risiko menengah, dan tampil lebih baik ketika sedang dievaluasi. Berprestasi rendah menghindari tugas-tugas yang menantang, menghindari risiko menengah, dan melakukan lebih buruk ketika sedang dievaluasi.

3.      Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG”)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG”. Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu E=Existence (kebutuhan akan eksistensi), R=Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain), dan G=Growth (kebutuhan akan pertumbuhan).
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa:
a.       Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya.
b.      Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan.
c.       Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.

Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.

4.       Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri seseorang yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.

5.      Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

6.      Teori pencapaian tujuan (achievement goal theory)
Teori pencapaian tujuan, tiga faktor berinteraksi untuk menentukan motivasi seseorang: tujuan prestasi, kemampuan yang dirasakan, dan perilaku prestasi. Untuk memahami motivasi seseorang, kita harus memahami apa keberhasilan dan kegagalan berarti tujuan pencapaian orang itu dan bagaimana mereka berinteraksi dengan persepsi bahwa individu kompetensi, harga diri, atau kemampuan yang dirasakan.




7.      Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation”, suatu teori yang disebutnya sebagai “Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya maka seseorang akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar maka seseorang akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.

8.      Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekuensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlaku apa yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekuensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana adalah seorang siswa yang dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru dengan tepat waktu maka akan mendapatkan pujian dari guru dan terhindar dari hukuman.
Contoh sebaliknya adalah seorang siswa yang terlambat mengumpulkan tugas atau tidak mengumpulkan tugas maka akan mendapatkan teguran dari guru dan dianggap tidak disiplin dalam mengumpulkan tugas.

9.      Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan. Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.

E.     TEKNIK MOTIVASI
Ada beberapa teknik motivasi antara lain:
a.       Verbal (cakap), pemberian motivasi yang dilakukan dengan perkataan atau verbal. Misalnya, mendatangkan seorang motivator untuk memberikan motivasi.
b.      Perilaku (behavioral), pemberian motivasi yang dilakukan melalui suatu tindakan.
c.       Bonus/ganjaran (insentif/reward), pemberian motivasi yang dilakukan dengan memberikan hadiah. Misalnya, pemberian piala kepada pemenang dalam suatu turnamen.
d.      Visualisasi/imajinasi, pemberian motivasi melalui imajinasi. Misalnya, berimajinasi ketika sedang dalam suatu pertandingan.
e.       Intimidasi, pemberian motivasi dengan disertai desakan-desakan yang akan membangkitkan motivasi tersebut.
f.       Cakap sendiri (self-talk), memberikan motivasi kepada diri sendiri. Misalnya, ketika dalam pertandingan ketika melakukan kesalahan maka dengan berkata kali ini tidak akan salah lagi, “saya pasti bisa”.
g.      Supertisi (peralatan), motivasi akan muncul jika menggunakan barang atau alat yang dianggap dapat memberikan rasa percaya diri. Misalnya, seorang pemain sepak bola merasa percaya diri memakai sepatu yang biasa dipakainya.

h.      Ritual (perilaku), motivasi akan muncul jika sebelum melakukan suatu aktivitas ada suatu hal yang biasa dilakukan. Misalnya, atlet pencak silat ketika masuk ke arena pertandingan harus melangkah dengan kaki sebelah kanan.

F.      PERANAN MOTIVASI DALAM OLAHRAGA

Motivasi sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia karena setiap manusia memiliki keinginan dan tujuan dalam hidupnya. Oleh karena itu, untuk mencapai keinginan dan tujuannya itulah maka diperlukan adanya energi pendukung dan pendorong yang disebut dengan motivasi. Motivasi sangat berperan dalam seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam belajar, bekerja, berlatih dan masih banyak lagi kegiatan dimana salah satu faktor pendukungnya adalah motivasi itu sendiri.
Dalam dunia olahraga motivasi juga menjadi hal yang penting khususnya bagi atlet. Atlet yang berlatih dengan giat dan teratur memiliki tujuan dan keinginan menjadi juara atau pemenang di cabang yang mereka geluti. Untuk mencapai tujuan tersebut bukan hanya teknik, fisik, taktik yang bagus, namun seorang atlet harus memiliki motivasi yang dapat menjadikan dirinya antusias dalam meraih tujuannya tersebut.
Dalam melakukan suatu pekerjaan motivasi akan menentukan seberapa besar usaha yang akan dilakukan dalam memperoleh hasil yang maksimal. Jika seseorang memiliki motivasi yang tinggi maka usaha yang akan dilakukannya juga akan maksimal sedangkan orang yang memiliki motivasi yang rendah maka usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuannya juga tidak akan maksimal. Sama halnya dengan seorang atlet, jika seorang atlet mengalami kejenuhan pada masa latihan maka latihan yang dilakukan tidak akan maksimal. Pada saat itulah sangat diperlukan penyemangat atau energi pendukung yaitu motivasi.
Pada dasarnya motivasi tidak hanya diberikan ketika terjadi kejenuhan atau kebosanan ketika berlatih, karena jika dilihat dari penjelasan di atas bahwa selalu ada motif ketika seseorang akan melakukan suatu pekerjaan. Motivasi ini bisa diberikan sesuai dengan kebutuhan tanpa harus menunggu adanya permasalahan. Sama halnya dengan seorang atlet, pelatih ataupun orang-orang yang berkecimpung di dalam organisasi olahraga juga memiliki tujuan-tujuan yang harus dicapai.
Membangun motivasi bukanlah hal yang mudah karena tidak setiap orang bisa dimotivasi dengan cara yang sama sehingga diperlukan orang yang sangat mengerti hal tersebut yang biasanya sering disebut sebagai motivator. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa motivasi yang datang dari dalam diri sendiri (intrinsik) dan motivasi yang datang dari luar diri seseorang (ekstrinsik). Motivasi intrinsik biasanya muncul dari dalam diri atlet tersebut seperti keinginan, harapan, tujuan yang ingin dicapainya sedangkan motivasi yang ekstrinsik muncul dari lingkungan dimana atlet tersebut berlatih, pelatih, keluarga, teman bahkan yang akan menjadi lawan dalam pertandingan juga dapat menjadi sebuah motivasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia.


BAB III
KESIMPULAN

            Motivasi merupakan kekuatan (energi) yang dapat meningkatkan persistensi dan antusiasme seseorang dalam mencapai tujuan dan keinginannya baik yang muncul dari dalam diri (intrinsik) maupun yang muncul dari luar diri (ekstrinsik). Motivasi yang timbul dari dalam diri sendiri tanpa adanya faktor atau dorongan dari luar disebut dengan motivasi intrinsik sedangkan motivasi yang timbul karena adanya pengaruh dari luar individu disebut dengan motivasi ekstrinsik.
            Motivasi merupakan suatu hal yang penting karena motivasi dapat memicu seseorang untuk melakukan suatu hal yang ingin dicapainya. Motivasi berperan memberikan dorongan kepada seseorang dalam mencapai tujuan dan keinginannya. Misalnya seorang atlet yang ingin memenangkan suatu kejuaraan, yang pada awalnya merasa kurang yakin akan kemampuannya maka dengan adanya motivasi baik yang muncul dari diri sendiri ditambah motivasi dari teman, pelatih, keluarga dan lingkungan maka atlet tersebut akan merasa semangat dan antusias dalam berlatih dan semakin siap dalam menghadapi kejuaraan.

DAFTAR PUSTAKA
Nana S. Sukmadinata. 2003. Landasan psikologi proses pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Weinberg, Robert S.; Gould, Daniel, (2007). Foundation of sport and exercise psychology. 4th edition. Champaign, II.: Human Kinestics Publishers, Inc.
http://www.duniapsikologi.com/pengertian-motivasi/. Diunduh pada tanggal 16 Februari 2012.
http://www.duniaq-duniamu.com/2012/01/7-jenis-motivasi.html. Diunduh pada tanggal 26 Februari 2012.