BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar
merupakan proses hidup yang sadar harus dijalani semua manusia untuk mencapai
berbagai macam kompetensi, pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Kemampuan
manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia
dengan makhluk hidup lainnya. Secara formal, belajar dilakukan di lembaga
pendidikan, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah
menengah atas, maupun perguruan tinggi. Proses belajar juga bisa dilakukan di
tempat kursus, pelatihan, dan aktivitas pendidikan lainnya yang luas dan tak
terbatas.
Dalam
proses belajar ada seperangkat peristiwa eksternal atau lingkungan yang
dirancang untuk mendorong dan mendukung belajar siswa yaitu penyusunan teori
belajar. Teori belajar merupakan teori yang dikemukakan oleh para peneliti
dalam upaya mendeskripsikan bagaimana manusia belajar. Dengan demikian akan
membantu manusia dalam memahami karakteristik serta pendekatan-pendekatan dalam
proses belajar. Salah satu teori belajar yang mempunyai pengaruh terhadap
praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah adalah teori belajar kognitivisme
yang dikemukakan oleh Gestalt.
Teori belajar kognitivisme menekankan pada
bagaimana informasi diproses dan diolah. Berakar pada aliran psikologi
kognitivisme, maka teori belajar kognitivisme memusatkan perhatian pada cara
manusia merasakan, mengolah, menyimpan, dan merespons informasi. Teori belajar
kognitivisme bersifat ilmiah karena teori-teorinya dapat diuji dan ditunjang
dengan penelitian yang valid. Pakar psikologi kognitif telah menemukan
cara-cara untuk menyelidiki proses mental. Psikologi kognitif berhasil
memberikan penjelasan yang baik tentang pengaruh proses mental terhadap
perilaku manusia. Jadi, teori belajar kognitivisme memberikan kontribusi
terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar dan
pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, pokok pembahasan
dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.
Apa hakekat teori Gestalt?
2.
Apa prinsip-prinsip teori Gestalt?
3.
Apa hukum-hukum belajar teori Gestalt?
4.
Bagaimana
implikasi teori gestalt dalam pembelajaran penjas ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka tujuan
pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui hakekat teori gestalt
2.
Untuk mengetahui prinsip-prinsip teori gestalt
3.
Untuk mengetahui hukum-hukum belajar gestalt
4.
Untuk mengetahui implikasi teori gestalt dalam
pembelajaran penjas
D. Manfaat Penulisan Makalah
Adapun manfaat dari pembuatan
makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1.
Bagi
pembaca, makalah ini dapat menambah wawasan serta meningkatkan pemahaman
tentang teori pembelajaran gestalt dan implikasinya dalam pembelajaran penjas.
2.
Bagi Dosen
Pengampu Mata Kuliah
Diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan
penulis, dan mahasiswa sehingga memperoleh pengetahuan tentang teori gestalt
dan implikasinya dalam pembelajaran penjas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Gestalt
Gerakan gestalt
dianggap pertama kali muncul pada tahun 1912 melalui artikel Max Wertheimer
yang berjudul “On Apparent Movement”.
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt.
Kemunculan gestalt merupakan bagian reaksi terhadap behaviorisme,
strukturalisme yang berkembang di Amerika, kemunculan pendatang baru ini justru
di Jerman. Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Gestalt
berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai arti sebagai “bentuk atau
konfigurasi”. Peletak dasar teori gestalt adalah Max Weitheimer (1880-1943)
yang meneliti tentang pengamatan dan problem
solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka yang
menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang
Kohler yang meneliti tentang insight
pada simpanse (Sugihartono, 2007:105).
Sejak awal Max
Wertheimer sudah bekerja sama dengan dua orang tersebut yang juga sudah
dianggap sebagai bapak pendiri dari teori gestalt Kohler dan koffka
berpartisipasi dalam eksperimen yang pertama dilakukan oleh Wertheimer,
meskipun ketiganya memberi kontribusi sendiri-sendiri, namun ide-ide mereka
selalu mirip satu dengan yang lain sampai akhirnya mampu menyatukan gagasan
sehingga menjadi sebuah gerakan. Mereka tidak hanya bekerja bersama, bahkan
mereka menyatukan keyakinan dalam melakukan perlawanan terhadap behaviorisme.
Hal ini bukanlah kebetulan bahwa buku Kohler pada tahun 1929, Gestalt
Psychology, didedikasikan untuk Wertheimer, dan buku Koffka tahun 1935,
Principles of Gestalt Psychology, melahirkan persembahan, “Untuk Wolfgang
Kohler dan Max Wertheimer sebagai terima kasih untuk persahabatan dan
inspirasinya, Guy R. Lefrancois (1995) dalam Jurnal Falasifa. Vol. 2 No. 1
Maret 2011.
Aliran gestalt muncul di Jerman
sebagai kritik terhadap strukturalisme Wundt. Kehadiran aliran gestalt sebagai
bagian dari aliran kognitivisme juga merupakan kritik terhadap aliran yang
sebelumnya yaitu behaviourisme. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau
peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang
terorganisasikan.
Kontribusi penting dari gestalt
adalah kritiknya pada pendekatan molekur dari behaviourisme yang menekankan
konsep stimulus-respon (S-R). Psikolog gestalt mengemukakan bahwa otak secara
otomatis mengubah dan menata pengalaman serta menambah kualitas yang tidak ada
dalam pengalaman inderawi. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh penggagas
gestalt lebih tertuju pada persoalan persepsi. Menurut pemikir gestalt, manusia
bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus yang
mempengaruhi. Namun, manusia adalah makhluk individu yang utuh antara aspek
rohani dan jasmani. Saat bereaksi dengan lingkungan, manusia tidak sekedar
merespons secara mekanis dan seragam, melainkan melibatkan unsur subyektif yang
antara masing-masing individu bisa berlainan. (Rahyubi, 2012: 96)
Teori gestalt memandang bahwa
belajar merupakan proses yang didasarkan pada pemahaman (insight). Insight adalah
pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar
bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Menurut teori gestalt,
seseorang dikatakan berhasil dalam proses belajar jika mendapatkan insight. Insight diperoleh jika seseorang melihat hubungan tertentu antara
berbagai unsur dalam kondisi tertentu. Dengan adanya insight, maka seseorang mengerti problem dan persoalan serta mampu
mengatasinya. Inilah inti belajar. Jadi, yang penting bukanlah mengulang-ulang
hal yang harus dipelajari, melainkan memahaminya dan mendapatkan insight. Menurut teori gestalt yang
paling penting dalam proses belajar adalah individu mengerti apa yang dipelajarinya. Untuk itu teori belajar
gestalt kadang disebut juga sebagai teori insight.
(Rahyubi, 2012: 80-82)
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan
Gestalt, yaitu:
- Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
- Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
- Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
- Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
B. Prinsip-Prinsip Teori Gestalt
Aplikasi
teori gestalt juga banyak dilakukan dalam konteks dinamika kelompok. Dasar
berfikirnya adalah kelompok dianalogikan dengan individu, maka perilaku
kelompok menjadi fungsi dari lingkungan dimana salah satu faktornya adalah
anggota kelompok dan hubungan sosial. Apabila hubungan ini bernilai negatif,
maka perilaku anggota akan menjauhinya dan dengan demikian tujuan kelompok
semakin tidak tercapai. Sebaliknya, hubungan yang baik akan membuat anggota
saling mendekati sehingga kerjasama yang lebih baik dalam mencapai tujuan
kelompok. Dalam hal ini, pokok pandangan gestalt adalah obyek atau peristiwa
tertentu (dalam hal ini kelompok yang bergabung untuk mencapai tujuan tertentu)
akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Ada
tujuh prinsip-prinsip teori gestalt antara lain
- Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
- Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu atau hal-hal yang saling berdekatan cenderung membentuk kesatuan. Prinsip ini menjelaskan bahwa bagian-bagian yang berdekatan cenderung dipersepsikan bersama dan akan menjadi satu kelompok dalam persepsi sendiri. Jadi, hal-hal yang berdekatan cenderung berbentuk gestalt.
- Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki atau hal-hal yang sama cenderung membentuk gestalt (keseluruhan). Prinsip ini menjelaskan bahwa bagian yang serupa cenderung dilihat sebagai suatu kelompok.
-
6
- Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan
- Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
- Kontinuitas (continuity) bahwa stimulus yang mempunyai kontinuitas antara satu dengan yang lain akan lebih diperhatikan menjadi kesatuan tersendiri. (Rahyubi, 2012: 88-89)
C. Hukum-Hukum Belajar Gestalt
Dalam hukum-hukum
belajar gestalt terdapat satu hukum pokok, yaitu hukum Pragnaz, dan empat hukum
tambahan yang tuduk kepada hukum yang pokok itu, yaitu hukum-hukum
keterdekatan, ketertutupan, kesamaan, dan kontinuitas (Hergenhan & Olson,
2008: 285).
1.
Hukum Pragnaz
Pragnaz adalah suatu keadaan yang
seimbang. Setiap hal yang dihadapi oleh individu mempunyai sifat dinamis yaiutu
cenderung untuk menuju keadaan pragnaz tersebut. Empat hukum tambahan yang
tunduk kepeda hukum pokok, yaitu:
a.
Hukum keterdekatan
Hal-hal
yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat cenderung dianggap sebagai suatu
totalitas, contohnya:
Garis-garis
diatas akan terlihat sebagai tiga kelompok garis yang masing-masing terdiri
dari dua garis, ditambah dengan satu garis yang berdiri sendiri di sebelah
kanan sekali.
b.
Hukum ketertutupan
Hal-hal
yang cenderung menutup akan membentuk kesan totalitas tersendiri, contohnya:
Gambar
garis-garis di atas akan dipersepsikan sebagai dua segi empat dan garis yang
berdiri sendiri di sebelah kiri, tidak dipersepsikan sebagai dua pasang garis
lagi setelah ada garis melintang yang hampir saling menyambung di antara
garis-garis tegak yang berdekatan.
c.
Hukum kesamaan
Hal-hal
yang mirip satu sama lain, cenderung kita persepsikan sebagai suatu kelompok
atau suatu totalitas, contohnya:
O O O O O O O O O O
X X X X X X X X X X
O O O O O O O O O O
Deretan
bentuk di atas akan cenderung dilihat sebagai deretan-deretan mendatar dengan
bentuk O dan X berganti-ganti bukan dilihat dari deretan tegak.
d.
Hukum kontinuitas
Orang
akan cenderung mengasumsikan pola kontinuitas pada obyek-obyek yang ada,
contohnya:
Pada
gambar di atas, kita akan cenderung mempersepsikan gambar sebagai dua garis
lurus berpotongan, bukan sebagai dua garis menyudut yang saling membelakangi.
D.
Implikasi
Teori Gestalt dalam Pembelajaran Penjas
Dalam pelaksanaan pembelajaran
dengan teori gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan atau
bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan yang utuh. Guru
memberikan suatu kesatuan situasi atau bahan yang mengandung
persoalan-persoalan, dimana anak harus berusaha menemukan hubungan antar
bagian, kemudian memperoleh insight agar dapat memahami keseluruhan situasi
atau bahan ajaran tersebut. Insight sering dihubungkan dengan pernyataan
spontan seperti “aha” atau “oh”, see now”
(Rahyubi, 2012: 181)
Aplikasi
suatu cabang olahraga harus dilakukan secara keseluruhan, bukan sebagai
pelaksanaan gerak secara terpisah-pisah. Karena itu guru harus menanamkan
pengertian agar siswa sadar akan keseluruhan kegiatan. Dengan kata lain,
pemecahan keseluruhan aktivitas menjadi bagian-bagian yang terpisah akan
menyebabkan siswa tidak mampu mengaitkan bagian-bagian tersebut. Karena itu
keuntungan utama dari keseluruhan permainan yaitu menuntut siswa untuk
mempersatukan bagian menjadi sebuah unit yang terpadu.
Implikasi
teori gestalt dalam pembelajaran penjas yaitu sebagai berikut :
1. Aktivitas
suatu cabang olahraga harus dilakukan secara keseluruhan, bukan sebagai
pelaksanaan gerak secara terpisah-pisah.
Dalam
pembelajaran penjas, guru harus menanamkan pengertian agar siswa sadar pada
keseluruhan aktivitas. Dengan kata lain, pemecahan keseluruhan aktivitas
menjadi bagian-bagian yang terpisah menyebabkan siswa tidak mampu mengaitkan
bagian-bagian tersebut. Untuk itu, siswa harus mampu mempersatukan bagian
menjadi sebuah unit yang terpadu.
2. Faktor
insight penting untuk memecahkan
masalah.
Guru
dalam memecahkan masalah pembelajaran penjas yang sering muncul berupa suatu
gerakan refleks tergantung pada keterampilan dasar untuk melakukan gerakan yang
kompleks. Untuk itu, mental praktis dapat digunakan sebagai suatu prosedur yang
bermanfaat untuk memperlancar proses belajar.
3. Pemahaman
tentang hubungan antara bagian-bagian dengan suatu keseluruhan penting bagi
peragaan keterampilan yang efektif.
Dalam
pembelajaran penjas pada materi ajar sepak bola, siswa harus memiliki pemahaman
tentang kaitan antara posisi bola dan rangkaian geraknya sendiri sebelum dan
sesudah siswa melakukan suatu teknik seperti menendang bola, menggiring bola
atau teknik lainnya. Guru dalam hal ini menyampaikan informasi yang menuntut
siswa memeroleh pemahaman yang mendalam tentang kaitan antara bagian-bagian di
dalam konteks keseluruhan.
4. Perilaku
bertujuan (pusposive behavior) bahwa perilaku terarah pada tujuan.
Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada
keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Proses
pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang
ingin dicapainya. Dalam pembelajaran penjas, guru hendaknya menyadari tujuan
sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami
tujuannya.
5. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning);
kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam
proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif
sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan
masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif
pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna
yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
6.
Oleh
karena penumpukan pengetahuan dan keterampilan tidak sama dengan keseluruhan,
maka kegiatan olahraga lebih baik diamati dan dihayati secara keseluruhan
(gestalt, global) dari pada bagian demi bagian. Dalam pembelajaran penjas, guru
dalam mengajarkan keterampilan olahraga hendaknya memahami dan mengusahakan
agar siswa sadar akan kegiatan secara keseluruhan dengan utuh. Praktek kegiatan
permainan secara utuh atau pada bagian-bagian yang lebih berarti bukan saja
memperbaiki keterampilan khusus, tetapi juga membantu siswa menggabungkan
bagian-bagian tersebut menjadi satuan pelajaran yang layak. Pertunjukan
pendahuluan (preview) melalui
demonstrasi, film, slide, penjelasan verbal dan kaji ulang (review) dapat membantu proses penggabungan.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Belajar
merupakan proses hidup yang sadar harus dijalani semua manusia untuk mencapai
berbagai macam kompetensi, pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Dalam proses
belajar ada seperangkat peristiwa eksternal atau lingkungan yang dirancang
untuk mendorong dan mendukung belajar siswa yaitu penyusunan teori belajar.
Teori
belajar merupakan teori yang dikemukakan oleh para peneliti dalam upaya
mendeskripsikan bagaimana manusia belajar. Dengan demikian akan membantu
manusia dalam memahami karakteristik serta pendekatan-pendekatan dalam proses
belajar. Salah satu teori belajar yang mempunyai pengaruh terhadap praktik
belajar yang dilaksanakan di sekolah adalah teori belajar kognitivisme yang
dikemukakan oleh Gestalt karena berhasil memberikan penjelasan yang baik
tentang pengaruh proses mental terhadap perilaku manusia.
B. Saran
1. Bagi dosen pengampu mata
kuliah Teori Pembelajaran dapat membantu dalam
proses belajar mengajar di kelas dengan menerangkan dan menjelaskan materi yang
menyangkut tentang Implikasi
Teori Gestalt dalam Pembelajaran Penjas
2. Bagi mahasiswa ilmu
keolahragaan angkatan 2013 diharapkan makalah ini
dapat memberikan pengetahuan terutama tentang Implikasi Teori Gestalt dalam Pembelajaran Penjas.
B.R
Hergenhahn & Matthew H. Olson. (2008). Theoris
of Learning Edisi Ketujuh. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
Hidayati,
Titin. (2011). Implementasi Teori Belajar
Gestalt pada Proses Pembelajaran. Diambil pada tanggal 19 November 2013, dari
http://jurnalfalasifa.files.wordpress.com/2012/11/1-titin-nur-hidayati-implementasi-teori-belajar-gestalt-pada-proses-pembelajaran.pdf
Rahyubi,
Heri . (2012). Teori-Teori Belajar dan
Aplikasi Pembelajaran Motorik. Bandung
: Penerbit Nusa Media.
Sugihartono, et. al. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY
Press