BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pembangunan bangsa dan pembangunan karakter bangsa adalah
dua istilah yang sering saling keterkaitan antara satu dengan lainnya. Hal ini
sangat naturalis karena artikulasi sebuah bangsa memang berbeda dengan sebuah
benda fisik biasa, misalnya sebuah hotel atau jembatan. Manakala sebuah hotel
atau jembatan ambruk, maka keruntuhannya dapat tampak secara kasat mata, antara
lain dapat kita saksikan berserakannya puing-puing hotel atau bangunan
tersebut.
Namun hal tersebut berbeda dengan sebuah
bangsa. Bangsa adalah kumpulan dari tata nilai (values) dan norma . Sendi sendi
yang menopang sebuah bangsa umumnya adalah berupa karakter dan mentalitas
rakyatnya yang menjadi pondasi yang kukuh dari tata nilai bangsa tersebut.
Keruntuhan sebuah bangsa umumnya ditandai dengan semakin lunturnya nilai nilai
bangsa tersebut, walaupun secara fisik bangsa tersebut sebenarnya masih eksis.
Sehingga seringkali kita menjumpai ada sebuah bangsa yang tak memiliki jati
diri yang membumi akan mudah terombang-ambing bagai buih di lautan sana.
Meskipun sudah bukan barang baru, namun harus diakui bahwa
fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh
dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia. Sebagian
kalangan menganggapnya sebagai ancaman yang berpotensi untuk menggulung tata nilai
dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan tata nilai pragmatisme dan
populerisme asing misalnya liberalisme dan kapitalisme maupun hedonistik. Di
pihak lain, globalisasi adalah juga sebuah fenomena alami, sebuah fragmen dari
perkembangan proses peradaban yang harus kita lalui bersama. Sehubungan dengan
hal tersebut, maka pada makalah ini globalisasi akan dijadikan sebagai acuan
untuk mengulas pembangunan karakter bangsa menuju pada kemandirian bangsa.
Dan sehubungan bahwa generasi muda adalah komponen bangsa
yang paling rentan dalam proses internalisasi tata nilai dan budaya, maka
seberapa jauh peranan olahraga terhadap pembangunan karakter bangsa, secara
khusus akan diberikan ulasan tentang peran kritis olahraga terhadap generasi
muda dalam pembangunan dan pemberdayaan karakter kebangsaan yang positif, yang
menunjang pada kemandirian bangsa di tengah terpaan arus globalisasi serta
mampu mempertahankan kesatuan Bangsa dari upaya orang-orang yang tak dapat
dipertanggungjawaban.
B.
Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini tidak meluas maka perlu
dibatasi hanya seputar peranan Olahraga terhadap pembangunan karakter bangsa
Indonesia sebagai media mempertahankan kesatuan Bangsa.
C.
Rumusan Masalah
Apakah peranan Olahraga terhadap pembangunan karakter bangsa
Indonesia yang dapat meminimalisir disintegrasi Bangsa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembangunan Bangsa yang Berkarakter
Pada prinsipnya memang membangun sebuah bangsa tidaklah
cukup hanya dalam esensi fisik belaka. Perlu adanya suatu orientasi yang sedemikian
sehingga esensi fisik tersebut berlanjut dalam suatu internalisasi untuk menuju
pada pembangunan tata nilai atau sebaliknya pembangunan yang berorientasi pada
tatanan fisik tersebut dijiwai oleh semangat peningkatan tata nilai sosio
kemasyarakatan dan budaya, meskipun yang kedua ini umumnya lebih sulit
dibandingkan dengan yang pertama. Setidaknya ada 2 (dua) argumen penting
menyangkut pembangunan bangsa yang bertata nilai yakni :
1. Pembangunan yang bertata nilai
merupakan esensi dari suatu pemahaman pembangunan yang sepenuhnya berorientasi
pada manusia sebagai subyek pembangunan atau lazim dikenal dengan human oriented development. Tanpa adanya
orientasi hal yang demikian, maka pembangunan hanya akan mencakup tataran fisik
dan tanpa disertai adanya pembangunan budaya serta peningkatan standar nilai
kehidupan manusianya.
2. Pembangunan yang bertata nilai juga
berarti jalur untuk dapat tercapainya suatu tata pemerintahan yang baik, atau good governance. Karena hanya melalui
orientasi pembangunan yang semacam ini sajalah, maka dapat diharapkan akan
terjadi interaksi positif antara pemerintah dan masyarakatnya untuk secara arif
mengelola sumber daya alam maupun juga tentunya penataan sumber daya manusianya
yang sedemikian sehingga tidak bernuansa eksploitasi, apalagi mengarah pada
sejumlah bentuk eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Dengan cara ini, maka
tidak saja pembangunan yang bertata nilai akan semakin meningkatkan
kondusifitas interaksi antara pemerintah dan masyarakatnya akan tetapi juga
semakin mempercepat proses pembentukan suatu masyarakat madani yang lebih
demokratis.
Untuk
lebih dapat memahami dalam konteks yang lebih praktikal, maka dalam makalah ini
akan diulas tentang sejumlah hal terkait dengan arti dan makna pembinaan
karakter bangsa, potensi potensi bangsa yang harus dikembangkan untuk mencapai
kemandirian bangsa yang bertata nilai, dan tentunya juga peran kritis dari
generasi muda didalamnya.
B.
Arti dan Makna Pembinaan Karakter
Bangsa
Mantan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Sri Dr. Mahathir
Muhammad pernah mengeluarkan sebuah pernyataan retorik tentang pembinaan
karakter suatu bangsa yakni,
Ketika suatu bangsa mulai membangun, maka yang pertama kali menjadi korban adalah kelembagaan keluarga berikut seluruh tatanan nilai kekeluargaan yang ada di dalamnya.
Pernyataan retorik di atas tentunya mengandung arti yang luas walaupun barangkali tidak terlalu paradoksal. Sebagian dari kita tentu memahami bahwa di negara-negara industri maju, memang umumnya fenomena hilangnya kohesivitas keluarga, sangat tampak dan sangat kentara, sejalan dengan semakin meningkatnya idiom modernisasi di negara-negara tersebut. Sehingga pembangunan dan pembinaan karakter suatu bangsa menjadi suatu istilah yang semakin sering diungkapkan sekaligus di perlukan pemahamannya yang lebih baik, khususnya dalam menjadikan pembangunan fisik suatu bangsa sebagai salah satu instrumen dalam pembinaan karakter manusianya.
Ketika suatu bangsa mulai membangun, maka yang pertama kali menjadi korban adalah kelembagaan keluarga berikut seluruh tatanan nilai kekeluargaan yang ada di dalamnya.
Pernyataan retorik di atas tentunya mengandung arti yang luas walaupun barangkali tidak terlalu paradoksal. Sebagian dari kita tentu memahami bahwa di negara-negara industri maju, memang umumnya fenomena hilangnya kohesivitas keluarga, sangat tampak dan sangat kentara, sejalan dengan semakin meningkatnya idiom modernisasi di negara-negara tersebut. Sehingga pembangunan dan pembinaan karakter suatu bangsa menjadi suatu istilah yang semakin sering diungkapkan sekaligus di perlukan pemahamannya yang lebih baik, khususnya dalam menjadikan pembangunan fisik suatu bangsa sebagai salah satu instrumen dalam pembinaan karakter manusianya.
Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh dari
kemajuan kapasitas berpikir manusia, yang umumnya diartikulasikan dalam bentuk
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terutama dalam hal ini adalah
teknologi informasi dan telekomunikasi. Kedua jenis teknologi ini secara sangat
radikal telah mengakselerasi proses interaksi antar manusia dari berbagai
bangsa dan memberikan dampak adanya amalgamasi berbagai kepentingan lintas
bangsa atau lazim dikenal dengan globalisasi. Salah satu unsur yang sejatinya
sudah ada dalam proses amalgamasi kepentingan antar manusia dari jaman dahulu
kala adalah daya saing atau competitiveness.
Menurut Michael Porter (1999), dalam bukunya Daya Saing
sebuah Bangsa (The Competitiveness of A Nation), pemahaman daya saing sebagai
salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas dibandingkan dengan entitas
lainnya, bukanlah baru muncul di era abad ke-21 sekarang ini. Peran daya saing
dalam menjadikan suatu entitas lebih unggul dibandingkan lainnya sebenarnya
bukan hal baru, akan tetapi sudah menjadi suatu keniscayaan bahkan semanjak
masa lampau. Daya saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang sangat
luas. Peran teknologi informasi dan telekomunikasi, menurut Porter, hanya
sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan
keunggulan suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya.
Keunggulan yang dimaksud di atas, nantinya dapat berkembang
ke berbagai pengertian maupun penerapan, bisa berarti keunggulan ekonomi,
keunggulan politik, keunggulan militer dan lain-lain. Daya saing pada esensinya
dapat dipandang sebagai sebuah rantai nilai proses yang dapat dikendalikan
dengan proses pembelajaran kontinyu atau continuous learning. Dalam alur proses
rantai nilai tersebut terdapat dua hal yang sangat prinsipil:
1. Pertama peran daya saing dalam
menentukan keunggulan hanya dapat dijamin, jika daya saing tersebut bersifat
adaptif. Yakni daya saing tersebut harus dikembangkan dan disesuaikan seiring
dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Untuk dapat
mencapai hal ini, maka setiap individu dalam entitas yang bersangkutan, entitas
di sini dapat berupa sebuah organisasi, perusahaan ataupun bahkan sebuah
negara, perlu melakukan proses pembelajaran yang terus menerus (atau sering
disebut dengan continuous learning) dan selanjutnya juga melakukan proses
internalisasi dari kapasitas pengetahuan yang didapat melalui pembelajaran
tersebut. Hal yang terakhir ini menuntut adanya suatu perubahan sikap atau
mental model dari setiap individu setelah melalui suatu proses pembelajaran
tertentu.
2. Kedua adalah bahwasanya daya saing
perlu diarahkan pengembangan untuk adanya suatu pembinaan total dari
kohesivitas antar komponen bangsa yang menuju pada keseimbangan harmonis antara
suatu entitas dengan entitas lainnya. Hal yang kedua ini menuntut adanya suatu
pembinaan karakter yang sedemikian, sehingga pengembangan daya saing tidak
lantas diarahkan pada pola pikir yang bersifat predatorik, yakni saling
mematikan dan membinasakan komponen bangsa lainnya, akan tetapi harus pada
konteks adanya komplementasi sehingga peningkatan daya saing nantinya akan
justru mengarah pada pencapaian kemajuan bangsa secara kolektif. Atau dengan
kata lain pembinaan karakter bangsa harus mencetak suatu mentalitas daya saing
bangsa yang bersifat komplementer dan non predatorik.
Berdasarkan
dari dua hal yang sangat prinsipil di atas, maka arti dan makna pembinaan
karakter bangsa di era yang sarat dengan daya saing sekarang ini adalah menyangkut
tiga hal pokok yaitu:
1. Artikulasi karakter bangsa adalah
mengacu pada tingkat peningkatan kapasitas pengetahuan dari bangsa tersebut
untuk terus melakukan pembelajaran agar semakin meningkat daya saingnya.
2. Adapun pembinaan karakter bangsa akan
diarahkan agar supaya kapasitas pengetahuan yang terbangun akan meningkatkan
daya saing, dengan kondisi dimana daya saing tersebut akan memungkinkan adanya
kemajuan kolektif atau kemajuan bersama, bukan kemajuan yang bersifat
predatorik atau saling mematikan antara satu dengan lainnya.
3. Sejalan dengan hal tersebut, maka
pemaknaan dari karakter positif bangsa harusnya diarahkan untuk mencapai dua
hal pokok di atas. Karakter positif bangsa yang telah dimiliki oleh bangsa
Indonesia, antara lain adalah karakter pejuang. Dalam kaitan ini masyarakat
internasional pun mengakui bahwa dua bangsa pejuang yang berhasil merebut
kemerdekaannya dengan darah di era pasca Perang Dunia ke-2 hanya dua yakni
bangsa Indonesia dan Vietnam. Selanjutnya masih ada lagi karakter pemberani dan
sejumlah karakter positif lainnya. Seluruhnya perlu dimaknai dalam konteks
peningkatan daya saing dan bersifat komplemen (atau non predatorik).
Dalam pemahaman yang bersifat artikulatif umumnya arti dan
makna pembinaan karakter bangsa sudah bukan merupakan masalah lagi. Namun pada
kenyataannya kita masih didera oleh sejumlah permasalahan dalam pembinaan
karakter bahkan yang paling kritis justru yang menyangkut masalah daya saing,
sebuah parameter yang semakin meningkat nilai pentingnya di era global sekarang
ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada paragraf berikut akan diulas
secara singkat tentang permasalahan umum yang dihadapi dalam pembinaan karakter
bangsa.
C.
Permasalahan Umum dalam Pembinaan
Karakter Bangsa
Sebagaimana telah disinggung pada paragraf di atas,
bahwasanya pencapaian daya saing yang adaptif menuntut adanya pembelajaran yang
terus menerus dan pembentukan mental model sebagai kelanjutan dari
internalisasi pembelajaran yang dilakukan. Adapun esensi yang paling utama
untuk dapat mewujudkan hal tersebut dalam konteks yang praktis adalah adanya
perubahan (changes) baik bagi
individu maupun kelompok/kumpulan masyarakat atau seluruh bangsa ini pada
umumnya.
Umumnya tanpa adanya fitur adaptifitas ini, maka daya saing
akan bersifat kaku dan statis, dan daya saing yang demikian pada akhirnya hanya
akan menjadi kebanggaan historika masa lampau serta tidak memiliki esensi sama
sekali di era masa depan yang menuntut adanya bentuk daya saing yang baru.
Gejala ini pun tampaknya dapat dirasakan di kalangan masyarakat kita, meskipun
hal ini juga menggejala di negara-negara lain, yang cenderung mengisolasi
artikulasi daya saing dalam pemahaman yang bersifat konstan dari perspektif
historis perjalanan bangsa tersebut.
Barangkali satu contoh menarik yang dapat dijadikan
pelajaran dalam konteks ini adalah perjalanan hidup bangsa Korea (Selatan).
Bangsa ini, kalau berdasarkan perspektif historis, tidak atau belum pernah
masuk kategori bangsa yang dominan di wilayah regionalnya. Sejarah mencatat
bahwa Korea umumnya selalu di bawah bayang-bayang dua negara tetangganya yang
sangat kuat, yakni Kekaisaran Jepang di Selatan dan (dahulu Kekaisaran) Cina di
Timur. Namun melalui suatu proses
internalisasi pengetahuan yang berjalan secara konsisten dan terutama dengan
adanya semangat untuk melakukan perubahan secara signifikan, Korea (khususnya
Selatan) saat ini telah tumbuh menjadi kekuatan yang paling diperhitungkan di
kancah regional Asia Timur bahkan dunia. Pakar reformasi Korea Selatan, Linsu Kim
(2002) pernah mengatakan bahwa pembelajaran secara kontinyu atau continuous learning tidak akan
memberikan pengaruh apa-apa, tanpa disertai adanya kemampuan untuk berubah atau
ability to change. Bahkan menurutnya,
proses pembelajaran barulah menemukan maknanya setelah terjadinya proses
perubahan pasca proses pembelajaran tersebut, khususnya dalam konteks pola pikir,
pola sikap dan perilaku.
Rantai nilai pembelajaran yang terdiri dari elemen
peningkatan kapasitas pengetahuan, internalisasi pengetahuan dan selanjutnya
kesanggupan untuk melakukan perubahan tampaknya masih belum dapat
diimplementasikan secara lengkap di umumnya kalangan masyarakat kita. Gambaran
umum yang terjadi adalah kemampuan kita, tampaknya baru sebatas pada dua elemen
yang pertama yakni peningkatan kapasitas pengetahuan dan internalisasi
pengetahuan. Sedangkan elemen yang ketiga tampaknya masih diaplikasikan dalam
dimensi yang sangat terbatas, sehingga tidaklah terlalu mengherankan kalau kita
mendengar atau mengetahui bahwasanya sudah terlalu banyak contoh dan kasus
dimana segenap idea, pemikiran dan konsepsi-konsepsi yang telah dirumuskan dan
dirancang dengan baik, bahkan melibatkan banyak orang yang pakar di bidangnya masing-masing
pada akhirnya hanya menjadi sebatas tata wacana atau kumpulan buku-buku dan
referensi tanpa adanya upaya kongkrit untuk menginternalisasikannya dan untuk
selanjutnya menjadi landasan dalam proses perubahan sikap maupun perilaku, baik
bagi individu maupun masyarakat dan bangsa.
Dari kenyataan ini maka dapat dideduksi bahwa permasalahan
umum dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah mencakup upaya-upaya untuk
mencapai suatu proses internalisasi pengetahuan yang kemudian dapat berlanjut
sampai dengan terjadinya suatu pergantian atau changes tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka agenda
terpenting dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah menyangkut adanya
reformasi kolektif dari segenap komponen bangsa ini untuk sanggup melakukan
pergantian atau changes setelah
menjalani setiap proses pembelajaran.
Karena sifatnya yang kolektif, maka tentunya hal tersebut
tidak mungkin menjadi tugas atau kewajiban dari pemerintah saja, akan tetapi
juga menyangkut tugas dan kewajiban dari seluruh masyarakat. Meskipun demikian,
pemerintah, yang dalam hal ini tentunya lebih banyak dari kompartemen
pendidikan dan komunikasi harus sanggup memberikan fasilitasi yang paling ideal
dalam mengakselerasi proses pemahaman kolektif, bahwasanya perubahan atau changes dari setiap adanya peningkatan
kapasitas pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran apapun juga
adalah hal yang sama pentingnya, atau bahkan dalam beberapa hal lebih penting,
dibandingkan dengan aktifitas peningkatan kapasitas pengetahuan itu sendiri.
Pada
paragraf berikut akan diulas secara tentang potensi bangsa yang seharusnya
dapat dijadikan sebagai unsur penting untuk membangun kemandirian bangsa.
D.
Unsur Pokok Pembangun Kemandirian
Bangsa
“The core of any army is its
soldiers, no matter how sophisticated its equipment, its performance is solely dependent
on its soldiers”.
Douglas MacArthur, General, US Army, 1945 Penggalan kalimat di atas diambil
dari ungkapan salah seorang komandan militer yang cukup terkenal, yaitu Jendral
Mac. Arthur. Seorang Jendral AS yang pernah menjadi panglima mandala Pasukan
Sekutu di Pasifik pada era Perang Dunia ke-2 (1941-1945) dan selanjutnya
menjadi panglima mandala Pasukan Gabungan PBB semasa Perang Korea (1951-1955).
Penggalan kalimat di atas cukup menarik, karena memberikan esensi pada peran
sumber daya manusia sebagai unsur yang paling kritis dalam setiap proses
pengembangan suatu entitas tertentu (dalam kasus di atas tentunya entitas
militer yakni Angkatan Bersenjata). Namun demikian hal di atas berlaku pada
hampir seluruh aspek, mulai dari organisasi yang sangat kecil seperti klub
olahraga ringan sampai dengan sebuah negara.
Sebenarnya apa yang diungkapkan oleh Jend. Mac. Arthur di
atas bukanlah hal yang baru. Lebih dari seabad sebelumnya (1815), kaisar
Perancis yang juga Jendral besar dari Eropa, Napoleon Bonaparte pernah
mengatakan, Une arm marche son estomac
atau Angkatan Bersenjata berjalan dengan perutnya. Meskipun oleh banyak pihak
penggalan kalimat ini diartikan dalam konteks pentingnya unsur logistik dalam
suatu operasi militer, akan tetapi sejatinya penggalan kalimat ini ikut
menekankan bahwa faktor prajurit (atau esensinya adalah faktor manusia)
merupakan komponen terpenting dalam setiap proses atau rantai nilai apapun
juga. Meskipun sumber daya manusia merupakan suatu hal yang sangat krusial,
namun terkadang kalau sudah berbicara mengenai hal ini banyak kalangan
masyarakat yang menganggapnya sebagai hal yang terlalu normatif. Beberapa di
antaranya malah menganggap bahwa pada jaman pemerintahan sebelumnya pernah ada
masa dimana hampir setiap pejabat negara menekankan tentang pentingnya SDM
namun pada akhirnya refleksi kemajuan yang dicapai juga tidak sebesar
sebagaimana yang diharapkan.
Terlepas dari semua hal tersebut, tetap sumber daya manusia
adalah potensi bangsa yang paling strategis yang harus dimobilisir dan
dikembangkan. Bahkan Ralph S. Larsen (2004), CEO dari Johnson & Johnson,
pernah mengatakan bahwa, tingkat kedewasaan suatu organisasi ditentukan dari
persepsinya terhadap sumber daya manusia yang dimilikinya. Tataran tertinggi
adalah ketika organisasi yang bersangkutan telah sanggup menganggap bahwa
sumber daya manusia adalah aset dan bahkan aset yang paling menentukan dari
kelangsungan hidup organisasi tersebut. Sebaliknya, tataran terendah adalah
ketika organisasi masih menganggap bahwa sumber daya manusia tidak lebih dari
komponen bahan baku yang menjadi obyek untuk dieksploitasi begitu saja.
Permasalahan utama tentunya adalah mendorong agar
pengembangan sumber daya manusia ini sanggup menghantarkan suatu bangsa
mencapai tingkat kemandirian yang berkesinambungan. Dan sebagaimana telah
disinggung pada paragraf sebelumnya, era globalisasi menuntut adanya parameter
daya saing sebagai satu satunya hal yang penting untuk menjamin suatu
kemandirian, lebih lanjut, pembinaan karakter yang menuju pada mentalitas daya
saing sendiri menuntut adanya sejumlah prasyarat pokok yang harus dijadikan
acuan dalam setiap proses, atau yang lazim dikenal dengan rantai nilai.
Sejalan
dengan hal tersebut, maka unsur pokok pembangun kemandirian bangsa terfokus
pada tiga aspek penting yaitu:
1. Peran kritis sumber daya manusia
sebagai sumber daya yang terus terbarukan,
2. Peningkatan daya saing dari sumber
daya manusia tersebut, sebagai jaminan untuk adanya kemandirian bangsa yang
berkesinambungan,
3. Pemahaman bahwasanya mencetak mentalitas
daya saing membutuhkan suatu rantai nilai dengan tatanan dan urutan tertentu.
Serta keberhasilannyapun tergantung dari sampai sejauh mana tingkat pemenuhan
kriteria dan persyaratan tersebut.
Ketiga
aspek penting di atas perlu mendapatkan suatu pelaksana atau agen yang akan
mengimplementasikannya di lapangan dalam suatu rangkaian tindakan nyata. Dan
agen tersebut tentunya adalah generasi muda yang dimiliki oleh bangsa, karena
dalam keadaan dimana mereka umumnya adalah masih berusia produktif maka
diharapkan mereka dapat memiliki kemampuan tanggap khususnya dalam
mengakselerasi proses internalisasi pengetahuan dan yang terutama adalah
menjadi motor penggerak perubahan atau generator of change. Tanpa adanya hal
tersebut, maka selamanya rantai nilai dari proses pembangunan karakter dalam
bentuk apapun tidak akan pernah bergeser dari tata wacana dan selamanya bangsa
ini akan terus berhadapan dengan berbagai masalah dan apabila bangsa ini lambat
dalam bereaksi maka akan berpotensi untuk semakin rendahnya daya saing bangsa
di jangka panjang serta semakin menurunnya daya adaptifitas bangsa dalam
mensikapi dinamika perkembangan global dan pada akhirnya akan menjadikan bangsa
ini sulit untuk dapat mencapai tatanan kehidupan yang bermartabat.
E.
Nilai-Nilai dalam Olahraga
Seperti disebutkan di atas ada beberapa nilai dalam olahraga
yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan kebangsaan. Nilai-nilai itu adalah:
1. Persatuan. Nilai persatuan merupakan
nilai yang mutlak dalam olahraga. Pengertian persatuan bukan hanya dalam
olahraga yang bersifat kelompok saja tetapi juga individual. Persatuan wujud
dalam bentuk keterikatan yang kuat di antara sesama pemain, pelatih, pengurus
dan juga pendukungnya. Tanpa ditunjang adanya persatuan mustahil suatu individu
atau tim dapat melakukan atau bahkan memenangkan pertandingan dengan baik.
2. Kerjasama dan kekompakan. Aspek
kerjasama sangat penting dalam sebuah olahraga, terutama olahraga yang
dilakukan secara berkelompok. Kerjasama dan kekompakan mutlak dilakukan jika
sebuah tim menginginkan kemenangan dalam suatu permainan. Bagaimanapun
tingginya skill individual yang dimiliki para pemain serta bagusnya pelatih
maupun official yang ada, jika tidak dibarengi dengan kerjasama yang kuat maka
akan sia-sia saja. Kerjasama dalam hal ini bukan hanya intern di antara para
atlet saja tetapi semua pihak yang bertanggungjawab terhadap tim, termasuk
pelatih dan seluruh official di dalamnya.
3. Persahabatan. Meskipun dalam sebuah
kompetisi antar kelompok masing-masing tim saling berhadapan, bersaing secara
sengit dan berusaha mengalahkan satu sama lain, namun begitu permainan usai
atau di luar acara permainan, masing-masing individu atau kelompok tetap harus
menganggap lawannya sebagai sahabat. Jangan sampai beberapa insiden yang
terjadi di dalam pertandingan dibawa-bawa keluar, yang justru memperuncing
masalah. Para pemain sepatutnya dapat memilah-milah antara urusan pribadi
dengan urusan kemanusiaan. Ketika bermain, setiap atlet dituntut untuk berusaha
semaksimal mungkin dapat mengalahkan lawannya, berjuang sekuat-kuatnya. Namun
ketika pertandingan selesai, terlepas kalah atau menang setiap atlek tetap
harus memperlakukan lawannya secara terhormat dan manusiawi, sehingga tidak
boleh menghina atau merendahkannya.
4. Penghargaan atau saling menghormati
atau persamaan. Penghormatan di antara masing-masing individu maupun tim dalam
olahraga menunjukkan adanya penghargaan serta ketulusan satu sama lain yang sudah
menjadi kewajiban bersama. Meskipun di antara mereka terdapat berbagai
perbedaan, mulai dari latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya,
geografis, dan lain-lain, namun tetap harus dipandang sama dan dihormati
sebagaimana layaknya.
5. Sportifitas. Aspek sportifitas
merupakan salah satu segi yang sangat penting dalam dunia olahraga. Dengan
sportifitas dimaksudkan bahwa individu atau kelompok bersikap kesatria, gentle,
dan jujur dalam permainan. Dalam pengertian ini pemain berlaku fair dan
terbuka, tidak melakukan kecurangan maupun tipudaya tertentu terhadap
lawan-lawannya. Sportifitas lebih menunjukkan adanya sikap tanggung jawab
seorang atlet. Sikap sportif yang menjunjung tinggi kejujuran menjadi tolok
ukur, sekaligus asas kompetisi yang sehat dan bermutu. Sportifitas lebih
menunjukkan adanya sikap tanggungjawab seorang atlet.
6. Fairness. Ditandai dengan sikap
obyektif yang terbuka dan tidak memihak. Dalam olahraga, sikap fairness atau
fair play mengacu pada permainan yang bersih, tidak curang atau dikotori tipu
muslihat, baik yang berasal dari para atlet sendiri maupun wasit dalam
pertandingan. Karena itu, mutu dari suatu olahraga dapat dikatakan baik kalau
dilakukan secara fair, di mana semua pihak melakukannya dengan cara-cara yang
jujur dan adil.
7. Ketekunan dan kerja keras. Hal ini
terlihat bagaimana para atlet dan seluruh tim sejak awal, dalam jangka waktu
tertentu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun secara rutin berlatih menempa
diri, mempersiapkan pertandingan yang dihadapi.Sampai pada gilirannya mereka
membuktikan kemampuannya, yang berakhir dengan kekalahan maupun kemenangan.
Cerminan dari kerja keras dan ketekunan tersebut benar-benar ada ketika mereka
menjalani proses demi proses yang melelahkan. Proses ini jelas membutuhkan
kesabaran dalam menahan diri, maupun keseriusan dalam berlatih. Ini merupakan
bagian dari perjuangan.
8. Solidaritas. Solidaritas
mencerminkan sikap kebersamaan, berbagi perasaan satu sama lain baik senang
maupun susah atas sesuatu obyek masalah atau kejadian. Dalam olahraga, nilai
solidaritas perlu ditanamkan secara kuat, baik dalam lingkup internal tim
maupun antar tim dengan pendukungnya. Kuatnya solidaritas menunjukkan adanya
keterikatan emosional di antara mereka, sekaligus menjadi sumber pendorong
semangat yang membangun. Karena itu, solidaritas perlu diarahkan ke
tujuan-tujuan yang positif.
9. Tanggungjawab. Aspek tanggungjawab
berkaitan dengan kewajiban individu atau kelompok atas tugas-tugasnya. Rasa
tanggungjawab, mencerminkan sikap amanah dan berani mengambil prakarsa ataupun
resiko atas setiap tugas yang diemban, baik yang berakhir dengan keberhasilan
maupun kegagalan. Sikap tanggung jawab adalah bagian dari mentalitas positif
yang selayaknya dimiliki setiap individu. Rasa tanggungjawab merupakan lawan
dari sikap pengecut dan sikap lepas tangan yang terdapat pada kebanyakan orang.
Dalam bidang olahraga kurangnya rasa tanggungjawab, yang ditandai dengan saling
lempar kesalahan, seringkali melemahkan sebuah tim dan bahkan dapat
menghancurkannya.
10. Keberanian. Nilai keberanian
menunjukkan rasa percaya diri untuk bertindak melakukan sesuatu. Sikap ini
dilandasi keyakinan akan kemampuan diri, dalam berkompetisi dengan pihak lawan.
Karena salah satu unsur kegiatan olahraga adalah adanya kompetisi, maka seorang
atlet harus selalu siap untuk maju bertanding memperagakan kemampuannya.
Keberanian dalam kaitan ini bukan jenis keberanian yang tanpa perhitungan,
namun keberanian yang diperhitungkan dengan cermat. Seorang atlet tidak boleh
menghindari kenyataan bahwa keunggulan mereka hanya bisa dinilai setelah melalui
proses kompetisi yang fair.
11. Integritas. Nilai integritas menunjukkan
ciri-ciri yang merangkumi sifat-sifat unggul dalam diri individu atau kelompok
secara keseluruhan. Nilai integritas ini, sama dengan nilai-nilai yang
disebutkan sebelumnya di atas, yang selayaknya ditegakkan semua insan olahraga
yang terkait, mulai dari atlet, wasit, pelatih, pengurus, maupun pendukungnya.
Integritas tidaklah semata-mata monopoli milik pemain saja, tetapi juga unsur-unsur
lainnya. Dalam bidang olahraga integritas ditunjukkan dengan sikap maupun
perilaku positif yang mencerminkan segi-segi kebaikan. Karena itu, sekali lagi
integritas lebih bermakna penghayatan dan penerapan nilai-nilai baik secara
totalitas.
Beberapa nilai yang dijelaskan di atas, sesungguhnya tidak
berdiri sendiri, melainkan terkait satu sama lain. Nilai-nilai yang satu
memiliki sifat komplementer terhadap yang lain, yang dalam prakteknya saling
menunjang. Terlepas dari adanya beberapa kekurangan di sana sini, dalam bidang
keolahragaan kita dewasa ini, namun hal tersebut tidak mereduksi pentingnya
kandungan nilai-nilai luhur itu sebagai sumber inspirasi untuk
ditransformasikan dalam kehidupan kebangsaan. Meskipun bidang keolahragaan
hanyalah bagian kecil dari subsistem kehidupan kita, namun eloklah kiranya jika
nilai-nilai itu, secara luas dapat diterapkan sebagai model.
F.
Implementasi Nilai-Nilai Olahraga
Dalam Memperkokoh NKRI
Setelah menjelaskan nilai-nilai di atas dapat diketahui
bahwa ada banyak nilai dalam bidang olahraga yang sejajar dengan kebutuhan kita
dalam memperkuat kehidupan bangsa. Secara luas dapat dikatakan bahwa
nilai-nilai tersebut dapat menjadi platform dalam mengembangkan tatanan bangsa
yang kini menghadapi tantangan besar. Sebagaimana diketahui, seiring dengan
kemajuan jaman yang ditandai pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, telah terjadi pergeseran-pergeseran penting di berbagai bidang.
Dalam skala yang luas terjadi transformasi dalam kehidupan politik, ekonomi maupun
budaya, yang diikuti dengan munculnya aspirasi-aspirasi dan tuntutan-tuntutan
baru di masyarakat. Tuntutan itu berupa keinginan yang kuat akan perbaikan
kondisi kehidupan ekonomi yang lebih sejahtera, politik yang lebih terbuka, dan
budaya yang reseptif terhadap nilai-nilai kemajuan.
Terdapat berbagai kecenderungan baru yang bersifat
kontradiktif yang tidak dapat dibendung sebagai hasil pemikiran dan interaksi
antar budaya yang berlangsung secara intensif. Pada satu sisi, kita menyaksikan
munculnya globalisasi yang mengarah pada penyatuan identitas manusia sejagad,
yang disertai dengan menguatnya penetrasi sistem, modal, barang dan nilai-nilai
budaya asing khususnya Barat ke seluruh ceruk kehidupan. Sementara pada sisi
lain berlangsung proses penguatan nilai-nilai dan identitas baru di tengah
masyarakat dalam bentuk munculnya reaksi-reaksi lokal yang ingin tetap eksis di
tengah serbuan budaya baru. Gejala-gejala ini memberikan efek bermata dua. Pada
satu segi dapat menghasilkan kemajuan, sementara pada segi lain dapat
menghancurkan. Sulit kiranya bagi kita untuk menghindari proses ini, sehingga
tidak ada pilihan lain kecuali menghadapinya dengan sikap waspada dan selektif.
Perkembangan-perkembangan di atas, membawa dampak besar bagi
bangsa Indonesia. Berbarengan dengan terjadinya transformasi politik dari
sistem otoritarian Orde Baru menuju sistem demokrasi di bawah Orde Reformasi
kita menyaksikan serangkaian fenomena pahit yang mengoyak sendi-sendi kehidupan
bangsa dan bahkan menjurus pada ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Beberapa kejadian itu seperti: Munculnya kekerasan
dan konflik-konflik horisontal di masyarakat, merebaknya tuntutan otonomi,
munculnya gerakan separatis di beberapa daerah, terjadinya krisis pangan dan
energi, munculnya bencana alam dan kecelakaan di mana-mana secara beruntun,
meningkatnya korupsi, lemahnya pemerintahan dan lain-lain.
Rangkaian kejadian tersebut secara nyata telah melemahkan
kedudukan bangsa Indonesia dan nyaris menenggelamkan dalam kubangan sejarah.
Salah satu penyebab dasar dari hal-hal tersebut adalah masih tipisnya rasa
kebangsaan, lemahnya rasa persatuan, kurangnya rasa persamaan, perjuangan,
solidaritas dan kekompakan, rasa tanggung jawab, persaudaraan, serta integritas
yang selama ini kita miliki, yang akar-akarnya dapat kita telusuri lebih jauh
pada lemahnya mentalitas dan ethos kita sebagai bangsa. Sebagai jawabannya
bangsa Indonesia harus bekerja lebih keras lagi, memecahkan berbagai problem
yang dihadapi secara simultan dan sinergis dengan cara-cara yang berkesan.
Simultan dalam artian memecahkan seluruh masalah secara serentak. Sementara
secara sinergis berarti memecahkannya secara terpadu atau terintegrasi dengan
bidang-bidang lain.
Salah satu usaha yang perlu dilakukan adalah melalui sumber
“nilai”, berupa reaktualisasi kembali nilai-nilai luhur bangsa dalam kehidupan
masyarakat. Dalam kaitan ini, secara khusus kita dapat mengambil dan
mentransformasikan atau mentransmisikan nilai-nilai yang selama ini berlaku
dalam bidang olahraga. Sebagaimana dijelaskan di atas, nilai-nilai yang
terkandung dalam bidang olahraga amat bersesuaian dengan nilai-nilai
kebangsaan. Karena bidang olahraga yang merupakan representasi dari dunia atau
lingkungan yang lebih besar di sekitarnya, maka sangat tepat jika dikatakan
bahwa nilai-nilai dalam olahraga dapat ditransmisikan dalam kehidupan
kebangsaan.
Dengan mengambil nilai persatuan, kita dapat mewujudkan
keterikatan yang kuat dengan berbagai komponen bangsa yang lain. Rasa persatuan
perlu terus dipupuk dan dikembangkan, sebab dengan adanya persatuan segala
persoalan bangsa lebih mudah dihadapi secara bersama. Akan tetapi sebaliknya,
jika kita tidak mampu menjaga persatuan maka otomatis akan kehilangan kekuatan.
Apa yang terjadi jika masing-masing unsur bangsa ini lepas sendiri-sendiri,
terpecah belah mengikuti keinginan dan hasrat masing-masing. Sudah barang tentu
mereka akan lemah dan mudah dikuasai. Belakangan, sangat dirasakan bagaimana
hilangnya rasa persatuan ini menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan
kepercayaan dan jati diri. Ibarat orang bermain olahraga, kehidupan bangsa
adalah mirip satu tim yang perlu dibina dengan kokoh berhadapan dengan bangsa
lain.
Dalam bidang olahraga, kita bisa mengambil rasa kesatuan ini
dalam bentuk solidaritas yang kita berikan, ketika misalnya, Tim Nasional
(Timnas) olahraga Indonesia bermain dengan negara lain. Ada perasaan atau
keterikatan emosional yang intrinsik, yang sama dan mendalam di antara kita
untuk memberikan dukungan agar Timnas kita menang dalam pertandingan. Sebagai
contoh, bagaimana perasaan kita secara otomatis bersatu, atau “berbagi nilai”
dan “identitas”, ketika timnas bulutangkis atau sepakbola berhadapan dengan
Malaysia. Bagaimana pula perasaan kita, ketika petinju Ellyas Pical menghadapi
lawan-lawannya?. Tentu kita bersatu, menginginkan kemenangan itu. Nilai-nilai
inilah kiranya dapat ditanamkan dan ditransformasikan dalam kehidupan
kebangsaan.
Terkait dengan dimensi persatuan adalah kerjasama dan
kekompakan. Tinggi rendahnya derajat persatuan akan sangat berpengaruh terhadap
kerjasama dan kekompakan. Sesuatu bangsa tidak mungkin dapat menjalankan
kerjasama dan bersifat kompak kalau tidak ada landasan persatuan. Jadi
persatuan merupakan titik tolak utama yang menentukan corak kerjasama di antara
anggota masyarakat. Salah satu kelemahan kita dewasa ini adalah makin
berkurangnya sifat kerjasama atau gotong royong ini. Terjadinya pergeseran
norma-norma dalam masyarakat akibat kemajuan-kemajuan material yang
berlangsung, menjadikan anggota masyarakat kini cenderung lebih mementingkan
dirinya sendiri.
Sikap individualistik telah menjadi ciri menonjol dalam
kehidupan bangsa Indonesia, dan menggerogoti segenap dimensi kehidupan.
Segalanya diukur dengan takaran materi. Kenyataan tersebut bukan hanya terjadi
di lingkungan kota-kota besar saja, tetapi untuk sebagian, sudah menyusup dalam
lingkungan pedesaan yang dulu dikenal dengan sikap tolong menolong dan
toleransinya atau kepeduliannya yang tinggi. Tekanan hidup sehari-hari yang
berat menyebabkan orang berpikir masa bodoh dan cenderung mengabaikan akal
sehatnya. Aspek kerjasama dan kekompakan ini selayaknya ditunjukkan oleh semua
lapisan masyarakat, bukan hanya antara kelompok saja, tetapi juga antara
seluruh komponen bangsa Indonesia dengan latar belakang yang berbeda. Kerjasama
dan kekompakan tidak dapat dilakukan secara segmental saja, antar elite dengan
elite saja, atau masyarakat dengan masyarakat saja, tetapi antar elite dengan
massa yang terintegrasi dengan baik. Aspek ini juga mencakup nilai
persahabatan. Seperti kita lihat, dibalik merosotnya semangat kerjasama ini
adalah mulai pudarnya semangat persahabatan, atau dalam bahasa sosial,
“kesetiakawanan”. Karena itu perlunya kita menggemakan kembali gagasan
“kesetiawanan sosial nasional” yang telah redup.
Dalam bentuknya yang kongkrit, kesetiakawanan merupakan
bagian dari sikap solidaritas, yakni adanya perasaan senasib dan
sepenanggungan, di mana-mana masing-masing anak bangsa merupakan bagian yang
tidak terpisahkan satu sama lain. Sikap ini mencerminkan rasa kebersamaan yang
secara emosional melekat dalam diri setiap individu. Mereka adalah satu anggota
keluarga besar bangsa Indonesia, yang harus memperoleh perlakuan yang sama dan
berhak menikmati hasil-hasil pembangunan yang berkeadilan, tidak
didiskriminasi, dan berada pada posisi sederajat. Pengabaian atas hal tersebut
sama artinya dengan melenyapkan dimensi kemanusiaan yang paling hakiki, yang
menjadi bagian penting dari apa yang disebut sebagai hak asasi manusia.
Perwujudan akan sikap solidaritas di atas akan mendorong
terwujudnya persahabatan, di mana masing-masing anggota masyarakat saling
menyayangi, sebagaimana seorang sahabatnya. Kendati mereka memiliki posisi dan
peranan, latar belakang agama, etnis, golongan, bahkan pendirian dan aliran
politik yang berbeda, namun dalam kehidupan bermasyarakat tetap harus
diperlakukan secara manusiawi sebagai sahabat. Jangan sampai berbagai perbedaan
yang ada menyebabkan masing-masing individu menganggapnya sebagai permusuhan.
Dalam kehidupan, secara alamiah konflik akan tetap ada dan bahkan pada tahap
tertentu merupakan keharusan bagi dinamika masyakat. Hanya saja, jangan sampai
menjadi sumber perpecahan dan permusuhan.
Karena itu, kita wajib menghargai dan menghormati berbagai
pandangan dan pendirian orang lain. Apalagi jika pandangan tersebut sangat
konstruktif dan baik, yang dapat menjadi jalan keluar dalam menghadapi
persoalan. Dalam konteks ini, diperlukan suatu toleransi yang besar dan sikap
lapang dada agar kita terbiasa dengan perbedaan-perbedaan. Dengan kata lain,
kita dituntut untuk berlaku sportif dan terbuka. Sentimen-sentimen individual
yang tidak berdasar, atau adanya perbedaan yang tidak prinsipil tidak boleh
dijadikan alasan untuk menolak atau mengabaikan pandangan orang lain. Harus
dipahami bahwa perbedaan-perbedaan antar individu terjadi karena masing-masing
kita memiliki pengalaman hidup yang berbeda. Sikap sportif menunjukkan
kebesaran jiwa, sekaligus kejujuran individu atas berbagai keterbatasannya.
Salah satu contoh nilai solidaritas dalam bidang olahraga adalah seperti yang ditunjukkan dalam kejadian beberapa waktu yang lalu di mana salah seorang wasit karateka Indonesia dianiaya di Malaysia.
Salah satu contoh nilai solidaritas dalam bidang olahraga adalah seperti yang ditunjukkan dalam kejadian beberapa waktu yang lalu di mana salah seorang wasit karateka Indonesia dianiaya di Malaysia.
Masyarakat secara spontan mengecam tindakan tersebut dan
menuntut pemerintah Malaysia memohon maaf. Gelombang protes yang bertubi-tubi
dan kecaman luas masyarakat menunjukkan tingginya tingkat solidaritas yang ada.
Isu pemukulan wasit, untuk seketika, menyatukan sikap seluruh masyarakat bahkan
menenggelamkan isu-isu domestik utama lain yang muncul. Inilah wujud
solidaritas organik yang perlu dikembangkan pada tataran nasional.
Bisakah kita mentransformasikan sikap itu dalam bentuk yang
nyata, ketika ada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dianiaya atau mati di luar
negeri, melawan koruptor, eksploitasi asing, penyelundupan dan lain-lain? Sikap
solidaritas, amat berkaitan erat dengan sikap fairness, yang menjunjung tinggi
obyektifitas. Berlakunya nilai fairness, menunjukkan adanya kejujuran yang
merujuk pada kesediaan untuk berlaku tidak memihak dan apa adanya.
Selanjutnya, nilai ketekunan dan kerja keras dapat
diimplementasikan dengan kerja yang tidak kenal lelah, mengisi pembangunan.
Masing-masing individu, dengan segala kemampuan yang dimilikinya patut berusaha
kuat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Kerja keras dalam hal ini juga
diikuti dengan kesediaan untuk berkorban, tanpa pamrih. Pencapaian tujuan
negara tidak bisa dilakukan oleh para pemimpin saja tetapi juga menjadi
kewajiban seluruh warga negara. Karena sasaran yang dicapai bukan jangka
pendek, tetapi jangka panjang, maka tidak harus selalu puas dan terbuai dengan
prestasi-prestasi yang sesaat. Tentu saja hal ini merupakan jalan panjang yang
penuh tantangan, yang harus dihadapi dengan kesabaran, dalam artian sabar
menghadapi proses.
Dalam kaitan ini, setiap warganegara perlu memiliki
keberanian, terutama para pemimpinannya untuk mengambil langkah-langkah positif
dalam memperbaiki keadaan. Salah satunya adalah berani mengambil resiko dengan
melakukan langkah-langkah terobosan dalam memajukan bangsa. Karena besarnya
akumulasi masalah yang kita hadapi dari waktu ke waktu, maka pada tahap
tertentu langkah terobosan perlu dilakukan, dan itu memerlukan keberanian.
Dewasa ini cara pemecahan pembangunan melalui pendekatan konvensional tidak
lagi relevan karena menjauhkan rakyat dari partisipasi pemecahan masalah secara
kongkrit. Kita memerlukan suasana bagi tumbuhnya inisiatif-inisiatif yang
berani dan menantang untuk maju.
Namun di atas segalanya, perlu adanya rasa tanggungjawab di
antara anggota masyarakat, khususnya para pemimpin bangsa. Rasa tanggungjawab
merupakan bentuk nilai positif yang perlu dijunjung tinggi oleh individu
manapun dalam lingkup kehidupan yang kecil maupun besar. Karena pada hakikatnya,
di semua segi kehidupan pada tingkat apapun, atau sekecil apapun, semua
pekerjaan memerlukan adanya tanggungjawab. Perbedaannya hanya terletak pada
bidang dan besaran tanggungjawab yang dipikul masing-masing individu. Sikap ini
bertentangan dengan mentalitas pengecut atau lepas tangan yang menjadi anutan
sebagian orang. Pemimpin yang sejati adalah yang berani bertanggung jawab,
menanggung resiko dan akibat dari perbuatannya. Pada kenyataannya banyak orang
yang berani memimpin tetapi tidak berani bertanggungjawab.
Setiap individu selayaknya menunjukkan kapasitasnya dengan
menghayati dan menerapkan nilai-nilai di atas. Kemampuan di dalam menerapkan
nilai-nilai tersebut, secara otomatis akan mempengaruhi terbentuknya integritas
individu yang dapat diandalkan, yang dibutuhkan untuk membangun bangsa. Dengan
demikian, integritas merupakan refleksi dari keseluruhan atau totalitas
sikap-sikap baik dan unggul yang kita miliki. Dalam kapasitas sebagai anggota
masyarakat, kita dituntut untuk memberikan apa yang terbaik dalam diri kita
untuk kepentingan orang banyak. Hal ini merupakan moral imperative yang tidak
bisa diabaikan mengingat kita hidup dan berinteraksi sosial dalam masyarakat.
Barangkali, implementasi nilai-nilai di atas, patut
diterapkan di tengah-tengah masyarakat, khususnya para pemimpin bangsa pada
semua tingkatan. Hal tersebut sangat penting dilakukan, karena hakikat
masyarakat kita yang masih paternalistik, yang berorientasi ke atas, lebih
banyak melihat cara bertindak para pemimpin sebagai acuannya. Usaha-usaha untuk
memperkokoh kesatuan NKRI akan sangat sulit dilakukan tanpa adanya nilai-nilai
dasar yang menjadi sumber inspirasi dan bukti kongkrit tindakan para pemimpin
bangsa. Di tengah arus perubahan global dewasa ini dengan berbagai pengaruh
yang tidak bisa dibendung, maka tidak ada pilihan lain bagi setiap bangsa untuk
memperkuat jati dirinya kecuali dengan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai
hidupnya sebagai perekat bersama.
Bidang olahraga, memberikan contoh yang sangat sederhana,
baik dan praktis untuk ditiru. Akan tetapi, malangnya hanya sedikit saja di
antara anak-anak bangsa yang secara sungguh-sungguh dan tulus mau melakukannya.
Fenomena yang sekarang mengemuka justru sebaliknya. Konflik-konflik dalam
masyarakat terus berlangsung, baik di tingkat bawah maupun atas. Pada tataran
massa, terlihat rapuhnya ikatan sosial, pudarnya nilai-nilai solidaritas, dan
pada tahap yang paling menyedihkan adalah mudahnya mereka terpancing isu-isu
liar yang meresahkan. Keadaan tersebut terjadi di samping karena rendahnya
tingkat pendidikan sebagian besar warga, juga tekanan hidup sehari-hari atau
ekonomi yang semakin berat. Banyak di antara mereka yang mengalami disorientasi
dan kehilangan pegangan, sehingga terjebak dalam perbuatan-perbuatan yang
berlawanan hukum. Akar permasalahan dari semua ini adalah pelaksanaan
pembangunan yang tidak adil.
Sementara pada pihak lain, gejala serupa juga terjadi pada
lapisan atas, khususnya di tingkat elite. Adanya perbedaan kepentingan dan
hasrat yang tinggi dalam memperebutkan kekuasaan menjadikan mereka lupa kepada
kepentingan rakyat, dan lebih banyak disibukkan agenda mereka sendiri.
Kepentingan partai, kelompok, organisasi dan golongan terkadang lebih prioritas
ketimbang yang lain. Karena itu tidaklah mengherankan jika konflik di tingkat
elite berlangsung lebih keras, dan intens. Terlepas dari kenyataan pihak mana
yang benar dan salah, kita melihat bagaimana kelompok-kelompok ini saling
mengkritik dan berusaha menjatuhkan satu sama lain, baik melalui perang
kata-kata di media massa, maupun pernyataan-pernyataan di depan publik, maupun
tekanan massa di tingkat bawah.
Gejala tersebut, secara jelas menunjukkan bagaimana
rendahnya etika sebagian elite pemimpin kita, sekaligus merefleksikan sejauh
mana sikap persatuan, kesantunan, tanggungjawab, penghormatan, kerjasama,
kekompakan, solidaritas, sportifitas, dan lain-lain seakan menjadi barang
langka yang sukar ditemukan. Kritik yang seharusnya menjadi medium koreksi
terhadap berbagai kebijakan yang melenceng, justru dimanipulasi untuk
meningkatkan imej dan publisitas. Sementara masukan konstruktif seringkali
dikesampingkan, karena dianggap bertentangan dengan kebijakan normal yang
berlaku. Kenyataan ini sesungguhnya tidak perlu terjadi, jika mereka berpikiran
positif dan lebih mengedepankan kepentingan umum.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, keserakahan makin
nampak, korupsi tetap menggunung, angka putus sekolah tetap banyak, kemiskinan
dan penderitaan rakyat meningkat, sejajar dengan terjadinya proses akumulasi
dan manipulasi kekuasaan segelintir kelompok yang tidak dapat dibendung. Pada
dasarnya, hal itu terjadi karena sempitnya cara pandang bangsa ini, dan
rendahnya moralitas sebagian para pemimpinnya. Munculnya budaya hedonis dan
instant, menyebabkan sebagian diantaranya terdorong berpikir pragmatis dan
dangkal, yang secara perlahan bakal menggerogoti seluruh elemen masyarakat.
Alih-alih kita menuju masa depan yang cemerlang, namun sesungguhnya meniti
jalan balik ke terowong gelap masa silam. Sehingga bukannya peningkatan semua
potensi masyarakat, melainkan justru akan memberikan pengalaman yang
menyedihkan bagi generasi mendatang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat dikemukakan
bahwa nilai-nilai olahraga sesungguhnya memiliki dimensi positif yang sangat
bermanfaat yang dapat diterapkan dalam usaha memperkokoh keutuhan bangsa. Dalam
banyak hal nilai-nilai yang terkandung dalam bidang olahraga secara subtansial
memiliki kesejajaran dengan usaha-usaha pengembangan bangsa. Ada banyak segi
positif yang dapat diambil dan ditranformasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Meskipun terdapat perbedaan tataran antara bidang keolahragaan dan
segi kebangsaan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kedua bidang tersebut
memiliki kedudukan yang saling menunjang.
Sebagai sesuatu yang bersifat normatif, nilai-nilai tersebut
tentu saja merupakan “modal sosial” yang memerlukan manipulasi kreatif,
penjabaran, serta bentuk penerapan yang lebih kongkrit. Usaha semacam itu sangat
diperlukan, mengingat munculnya berbagai tantangan dewasa ini yang
dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan bangsa. Di tengah kehidupan moderen yang
berubah dengan cepat, yang ditandai dengan munculnya pergeseran nilai-nilai
baru dan arus kehidupan yang makin mengglobal yang cenderung meminggirkan
identitas-identitas setempat, maka tidak salah kiranya jika mengambil kembali
segi-segi terbaik, dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat, untuk dijadikan
panduan dalam kehidupan bersama.
B.
Saran
Perlunya bangsa Indonesia mereaktualisasi nilai-nilai
olahraga ke dalam kehidupan berbangsa yang diharapkan mampu memperkokoh
keutuhan NKRI. Langkah ini merupakan salah satu bentuk kesadaran yang perlu
ditampilkan agar kita tidak terjebak dalam arus utama kehidupan yang dengan
cepat menggerogoti sendi-sendi persatuan. Kuatnya arus budaya material yang
dibarengi dengan berkembangnya mentalitas individualis yang makin menonjol
sekarang ini, secara mendasar telah memudarkan solidaritas dan ikatan-ikatan
emosional, bahkan pada gilirannya mendangkalkan visi kita sebagai satu bangsa.
Akhirnya, perlu dikemukakan bahwa penjelasan yang dikemukakan penulis
barangkali hanyalah suatu langkah kecil, namun cukup berarti, dalam menyegarkan
kembali visi kita dalam memperkokoh keutuhan NKRI.
DAFTAR PUSTAKA
Datuk
Sri Dr. Mahathir Muhammad,pembinaan karakter bangsa, Malaysia, 2004
M. Hatta Rajasa, pembangunan karakter Bangsa, Mensekneg, 19 Juni 2007,Jakarta
M. Hatta Rajasa, pembangunan karakter Bangsa, Mensekneg, 19 Juni 2007,Jakarta
M. Nuh, Pentingnya informasi dalam upaya membangun karakter dan meneguhkan jati diri bangsa Indonesia, DEPKOMINFO, 10 Agustus 2007, Jakarta
Ralph S. Larsen, CEO dari Johnson & Johnson, American, (2004)Syarifudin, nilai-nilai Olahraga dan Pembangunan Ketahanan Nasional, 7 April 2009, Jakarta
http://wengayo.blogspot.com/2010/06/penjasorkes-dalam-pembangunan-karakter.html